"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Humm...."
"Apa ada yang sedang kau pikirkan?"
"Ha? Emh... tidak juga."
"Pikiran mu seperti tidak di sini."
"Yah... entahlah."
Langkah Livius berhenti. Berbeda dengan Restia yang terus berjalan. Tak menyadari pasangannya di belakang.
"Restia," panggil Livius. Karenanya Restia langsung kebingungan sebab Livius tidak di sampingnya. Ia disibukkan dengan segala pertanyaan yang mengelilingi otaknya dan enggan ia tanyakan ke sumbernya langsung.
Ya, Restia masih tidak percaya dengan sikap lembut Livius. Itu lah yang menyita pikirannya sejak tadi. Namun hal itu ditangkap berbeda dengan Livius. Ia merasa Restia mengabaikannya.
Livius tahu ia pernah menyakiti gadis itu. Maaf pun tak cukup. Namun Livius tidak ingin hubungannya berakhir. Ia hampir kehilangannya. Setelah perjuangan dan tekad yang ia poles sedemikian rupa hingga akhirnya berani menentang ketakutannya. Akhirnya Livius bisa mendapatkan Restia kembali. Ia tidak akan melepas Restia. Tidak akan pernah. Itu sebabnya Livius sedang berusaha memperbaiki hubungan mereka kembali.
"Kau mau kemana? Kita akan ke arah sini," tutur Livius lembut sembari menunjuk koridor mengarah ke luar.
"Oh. Maaf," sahut Restia.
Mereka jalan kembali sampai akhirnya berhenti di sebuah tempat. Restia familiar dengan rumah kaca di depannya.
Warna ungu menghibur penglihatan Restia. Warna kesukaan yang sejatinya disukai Restia Adler. Tapi semakin ke sini Restia semakin menyukainya juga.
Ya, ini adalah kebun lavender yang tak sengaja Restia jumpai malam itu. Restia tersenyum getir. Livius pasti tidak tahu ada kenangan pahit di sini.
"Aku membuat rumah kaca ini satu tahun yang lalu. Kupikir kau menyukai Lavender. Itu sebabnya...."
Satu tahun? Bukankah saat itu Livius masih membenci Restia Adler? Lantas kenapa dia membuat rumah kaca ini? Ah sudahlah. Mungkin Restia hanya salah paham.
"Bagaimana menurutmu?" lontar Livius.
"Yah, rumah kaca ini bagus. Aku tidak pernah menolak walau ada setangkai lavender liar yang tumbuh di luar istana. Tapi... apa kau tahu Yang Mulia? Malam itu... saat Yang Mulia terang-terangan menuduhku. Aku tidak sengaja menemukan tempat ini."
Telunjuk Restia terangkat. Mengarah pada kursi di depan sana. "Di sana... aku menangis."
DEG!
Kening Livius mengerut. Sesak mendengarnya! Itu adalah kesalahan fatal yang akan menghantuinya seumur hidup.
"Restia...." panggil Livius.
Ia meraih pergelangan tangan Restia dan menggiringnya duduk ke kursi. Sebagai seorang Kaisar adalah pantang merendah pada orang yang statusnya di bawah. Dan sekarang Livius melakukannya. Ia berjongkok di depan Restia seraya melayangkan tatapan penyesalan.
"Aku tahu kata maaf saja tidak cukup. Tapi kamu harus tahu aku sangat menyesal. Aku ingin berubah. Aku siap melakukan apapun untuk membuat hati mu lega. Lakukan apapun pada ku supaya kekesalan mu sirna. Aku janji tidak akan ada yang kedua kalinya."
Hembusan nafas terdengar berat. Sudahlah, Restia pernah bilang bukan? Tidak ada kata maaf walau dirinya mengemis sekali pun. Rasanya puas sekali melihat kaisar yamg dipuja-puja seantero Eraslan berada di bawah kakinya. Tapi Restia tidak boleh mengedepankan egonya. Ia ingin lepas tapi ia punya tugas yang mengharuskanmya tetap bersama Livius.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasíaHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...