Kamar dengan suasana dominan warna cream. Terkesan kalem dan feminim. Cocok sekali dengan karakter Aurora yang juga feminim.
Sajian teh mengisi meja bulat dengan ukiran daun semanggil di ujungnya. Ciri khas Aurora sekali. Ah, bukan itu inti dari kedatangan Restia ke kamar Aurora di pagi ini.
Ya, ia ingin mendapat klarifikasi kejadian semalam. Jujur saja, hati Restia tersentil akibat ia memutarbalikkan fakta. Tapi setelah semalaman overthingking, di pagi hari Restia mendapat ilham. Mungkin Aurora punya alasan kenapa harus bertindak seperti itu. lalu di sini Restia hadir menagih alasan itu.
“Aku yakin Nona paham apa yang membuat ku datang kemari. Jadi—“
“Kemana Yang Mulia?” timpal Aurora cepat. Sepertinya ia ingin melayangkan pembelaan jika Livius di sini. Gimana ya? Restia tiba-tiba merasa jengah. Dia kan female lead. Seharusnya punya karakter kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi Aurora yang sekarang berbeda sekali dengan di dalam novel. Apa-apa ketemu Livius, apa-apa bergantung Livius. Kalau begitu, gimana dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?
Restia menggaruk tengkuk belakang. “Yang Mulia sudah mempercayakan kasus ini pada ku.”
“Kasus? Memangnya ini masalah besar sampai disebut sebagai kasus?” ucap Aurora tersulut. “Aku akan menemui Yang Mulia!” Aurora hendak melangkah namun gagal ulah Restia yang menghadang.
“Nona, aku minta maaf kalau ucapan ku menyinggung mu. Jika kau pergi sekarang, Nona akan dianggap penganggu karena Yang Mulia sedang menghadiri pertemuan bersama dewan legislative,” timpal Restia tenang. Iya tenang. Restia harus tenang di saat hatinya geram.
Kening Aurora mengerut sejalan dengan bola matanya bergetar. Ia duduk kembali ke tempatnya dengan tenang.
Hah, syukurlah! Padahal Restia bohong tentang Livius yang sedang bertemu dengan dewan legislative. Yah, perempuan polos tetaplah menjadi polos. Aurora butuh asupan licik lebih banyak. Seperti Restia Adler, oh salah! Sebenarnya Restia Wardani pun bukan gadis sepolos itu. Dalam kontek kehidupan ia sudah mengalami banyak pengalaman pahit yang mengajarkannya untuk bersikap licik di situasi tertentu.
Di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar polos tidak berdosa. Sejatinya manusia membawa sifat iri dari nenek moyangnya. Sumber dosa yang diemban seluruh anak dan cucu Adam. tinggal bagaimana kita mengontrol bibit dosa itu. Ikhlas dan syukur adalah obat untuk menyembuhkan rasa iri. Namun sama halnya seperti obat kanker. semua itu punya harga mahal dan butuh banyak usaha untuk mendapatkannya.
Melihat Aurora gemetar dengan mata yang terus memandang lantai membuat Restia kasihan. Bagaimana pun masalah ini harus selesai. Jika Restia Adler di sini mungkin ia akan menggebrak meja dan membantik gelas karena tidak sabar. Untungnya yang di dalam sini Restia Wardani. Ia masih punya kesabaran seluas samudra untuk menghadapi Aurora yang tertutup.
Kalau sudah begini, Restia harus pelan-pelan untuk membujuknya. Ya, pertaman-taman menjamin kesalamatannya setelah bercerita. Melihat betapa takutnya Aurora sepertinya ini masalah krusial untuknya.
“Nona Aurora,” panggil Restia. Tubuhnya tegak dengan senyum lembut. Memandang Aurora dengan pandangan paling bersahabat. Berkat itu Restia mendapat atensi Aurora.
“Tenanglah, aku tidak akan menyalahkan mu. sebisa mungkin masalah ini selesai tanpa merugikan siapa pun. Kau harus tahu kalau kehadiran ku di sini untuk menolong mu. Bukan menyalahkan mu. Aku tahu kau pun tertekan. Kita cari jalan keluar bersama, bagaimana?” bujuk Restia.
Dari tatapan itu sepertinya Restia gagal meyakinkan Aurora. yah, wajar sih. Restia Adler kan pernah melayangkan kebencian secara frontal. Ah sial! sepertinya perlu waktu agak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasyHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...