“Ugh!”
Tubuh Restia menggeliat saat merasa seluruh tubuhnya pegal. Sudah berapa lama tubuh ini tidak bergerak dan hanya di posisi tidur? Restia memang suka rebahan tapi tidak seperti ini juga.
Ah, Restia jadi ingat kondisi tubuhnya di dunia nyata. Itu tampak mengenaskan dengan selang medis di mana-mana. Ibu juga tampak kurus lalu si Kakak dajal itu masih tengil saja walau Restia sekarat.
Eh tunggu!
Kenapa Restia tahu gambaran dirinya di dunia nyata? Restia mendudukkan dirinya. Ia menggerakkan leher ke kanan dan kiri guna peregangan.
Seolah otaknya kembali di refresh. Ia baru sadar, gambaran itu terlihat di mimpi selama ia tidur. Lalu pertemuan dengan gadis menyebalkan yang sialnya sangat cantik di dalam mimpi. Restia meyakini itu adalah jiwa Restia Adler De Freya yang asli.
“Ugh, membingungkan sekali.”
Abaikan saja, Restia harus tahu kondisi Livius. Ia juga menyuntikkan racun itu. Jika tebakan Restia benar, seharusnya Livius juga selamat bukan? Karena saat ini Restia sudah sadar. Walaupun tubuhnya terasa remuk dan lidahnya pahit.
Pasti dokter istana memasukkan berbagai macam obat setiap hari ke mulut Restia. “Huek, aku butuh biscuit.”
Bunyi derak pintu terdengar. Restia spontan menoleh. Entah dapat kekuatan dari mana, angin menghembus kuat hingga jendela kamar Restia terbuka dan membawa helaian rambutnya menari.
Berkat itu Restia tidak melihat dengan jelas, siapa seseorang yang masuk dengan membawa lentera itu. Wajahnya tidak terlihat jelas namun Restia menyadari satu hal. Dia laki-laki.Livius kah? Karena kalau Elgar sepertinya tidak mungkin karena dia sedang berada di medan perang.
Laki-laki itu kian mendekat. Namun masih tak terlihat jelas identitas wajahnya.
“Livi?” tebak Restia.
Rupanya ucapan Restia membuat laki-laki itu menghentikan langkah. Ia terlihat ragu. Detik berikutnya lentera itu diangkat dan wajah Elgar tampak.
“Elgar….”
Sebuah senyuman terpatri dengan tatapan sendu teriring lega. Elgar menaruh lenteranya kemudian berjongkok tepat di samping ranjang Restia. Tak menyangka momen ini akan datang juga. Setelah penantian panjang, dua bulan berlalu tanpa seulas senyum pun nampak di wajah tegas itu.
“Syukurlah… syukurlah….” rancau Elgar parau. Ia menunduk lemah dengan isak lirih.
Restia tertegun. Ah, rupanya Restia sudah membuat laki-laki ini menunggu cukup lama ya?
“Maaf, aku membuat mu menunggu lama ya?”
“….”
Elgar tak bersuara. Ia sibuk menetralkan isaknya. Kemudian memberanikan diri menatap Restia.
“Humm…. Kau tidur sangat lama! Seperti hewan hibernasi.”
Oh shit! Mulut tajamnya masih sama ternyata!
“Memang berapa lama aku tidur?”
“67 hari,” jawab Elgar tepat.
“Bilang saja dua bulan. Kenapa rinci sekali?”
“Karena… aku selalu menanti kau membuka mata. Bagi ku itu waktu yang sangat lama. Pikiran negative selalu menghantui ku di kala senggang. Mengatakan kau tidak akan kembali selamanya,” ucap Elgar sendu.
Restia tersenyum simpul. Ia meraih pipi Elgar. Tapi di luar dugaan! Elgar justru terperanjat dan spontan mundur ke belakang. Seperti orang ketakutan.
Mereka saling tatap. Kecanggungan menguasai kamar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasíaHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...