Tok Tok Tok
"Yang Mulia?"
Suara itu bergaung memenuhi ruangan. Satu-satunya bunyi manusia yang Livius dengar di jam satu malam.
"Masuklah."
Dia Admand Lancerd dari keluarga Lancerd. Keluarga yang secara turun temurun melayani kekaisaran sebagai kepala pelayan. Lalu Admand ini adalah calon kepala pelayan selanjutnya. Karena Ayahnya, Sargion Lancerd masih memegang posisi itu hingga dua tahun ke depan.
Walaupun begitu, Admand lebih sering berada di sisi Livius. Sebab, ia lah yang menemani jatuh dan bangkitnya Livius sejak kecil. Umur mereka pun hampir sama. Membuat dua insan itu layaknya teman dari pada atasan dan bawahan.
"Sudah ku duga Yang Mulia begadang lagi."
"Hah... memangnya apa lagi yang bisa ku lakukan selain begadang mengurusi estimasi anggaran-anggaran gila ini?" semiriknya mengembang ketika menatap barisan anggaran yang dicanangkan para bangsawan itu. "Mereka sudah gila!" gumam Livius.
Membayangkan pajak rakyat akan meningkat hanya karena para bangsawan menginginkan pembangunan taman di tengah kota. Dari pada mengurusi hal itu, Livius justru khawatir dengan desa di pedalaman yang sedang mengalami kekeringan akibat curah hujan minim.
Masih banyak desa yang belum teraliri irigasi. Dengan alasan pengeluaran tidak sesuai dengan estimasi anggaran. Para bangsawan penguasa desa beralibi demikian untuk menutupi korupsi.
"Hah.... mereka berniat mencekik ku dengan kertas-kertas ini!" dengus Livius. Ia mengabaikan pekerjaannya kemudian bersandar ke kepala kursi.
"Yang Mulia, aku tahu Anda orang yang berdedikasi tinggi dengan pekerjaan. Namun, Yang Mulia juga harus paham dengan kondisi kesehatan. Ini waktunya tidur Yang Mulia," ucap Admand mengingatkan. Jika tidak begtitu, Tuannya akan ketiduran lagi di meja kerja. Seperti yang sudah-sudah.
Livius tak menggubris. Ia masih memandang langit-langit dengan tatapan sayu. Seolah segala letih tersalurkan pada tatapan itu.
"Admand...." panggilnya.
"Hari ini aku menemui Restia. Aku menyampaikan perintah dewan legislatif yang tidak menerima pemutusan pertunangan kita."
Admand menyimak. Ada satu waktu Livius membuka diri tentang perasaannya terhadap Restia. Mungkin di seluruh dataran Eraslan, hanya Admand yang tahu. Perasaan sesungguhnya Livius terhadap Restia.
"Itu adalah tindakan yang tepat. Yang Mulia sudah melakukan hal yang tepat dengan menyampaikan ke Lady Restia."
Livius terkekeh sejenak. Ia meraih gelas anggur di meja lalu memutar-mutarnya.
"Tapi.... kenapa aku merasa sakit hati, saat melihat ekspresi Restia yang menolak ku dengan sungguh-sungguh? Padahal, aku sudah meniatkan diri untuk merelakannya. Sekarang, saat aku berhasil membuat Restia benci. Justru aku merasa kehilangan...."
"Hei Admand? Sebenarnya, apa yang harus aku lakukan? Di satu sisi aku ingin melindunginya. Sisi lain aku tidak mau kehilangannya. Aku seperti raja plin plan yang tidak bisa menentukan tujuan hidup."
"Yang Mulia, saya tidak bisa memberi masukan yang baik. Tapi, ikuti kata hati mu. Saya pernah mendengar itu dari seorang guru yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk penelitian. Hingga akhir hayatnya, ia tetap tersenyum walau banyak orang yang menghujatnya karena terlalu fanatik dengan ilmu."
Sudut bibir Livius terangkat. Ya, itu masukan yang baik. Namun, Livius adalah Raja. Untuk saat ini ia tidak bisa sembarang memikirkan egonya. Berbeda dengan peneliti yang bebas. Tapi, mungkin suatu hari, Livius bisa menjadi seperti ilmuan itu. Menjadi Raja terburuk yang dibenci rakyatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villain Want to Die (END)
FantasíaHanya karena nama karakter dalam novel sama, tanpa sebab Restia Wardani masuk ke dunia novel dan bertransmigasi ke tubuh Restia Alder D. Freya. Pemain antagonis yang selalu mencelakai female lead. Seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Restia tau akhir...