49. Kabar Buruk

17.6K 1.9K 37
                                    

Kejadian kemarin menjadi alasan Elgar untuk meringankan latihan selanjutnya. Prajurit lain pun tidak keberatan mengingat kepedulian mereka sudah mengarah pada Restia. Berbeda dengan hari sebelumnya, kini punggawa muda itu tampak ramah dan menyambut kedatangan Restia. Hari-hari berikutnya tampak damai. Restia menjalani pelatihan seminggu tiga kali. Karena ada kelas etiket yang juga harus diladeni gadis itu.

Keputusan untuk memulangkan Aurora pun akhirnya diturunkan. Sebelumnya Livius bertanya langsung kepada Aurora. saat itu Restia meminta maaf karena sudah melanggar janji untuk tidak membocorkan kepada Livius. Namun, seperti halnya female lead yang memiliki hati baik. Aurora memaafkan Restia. Dan kemarin kereta kekaisaran dan beberapa pengawal mengantarnya pulang.

Jujur saja, Restia mulai menikmati hidup di sini. Ia mulai terbiasa dengan  budaya bangsawan dan sekitarnya. Sejatinya manusia yang bisa beradaptasi, Restia pun melakukan hal yang sama sehingga tanpa sadar keinginan untuk tinggal pun muncul. Tapi, itu hanyalah keinginan sesaat. Ia tidak tahu masa depan seperti ini akan terjadi!

Ya! ini adalah kenyataan pahit yang harus Restia terima.

PYAR!

Gelas dengan motif cantik itu pecah sia-sia ke lantai. Restia menganga dengan info yang baru saja diutarakan Rowena.

Bagaimana bisa begini?

Tanpa menghiraukan apapun Restia langsung berlari ke ruang kerja Livius. Wajahnya khawatir dengan bulir keringat merembas.

BRAK!

“Livi!” pekik Restia. Di sana ada Admand. Restia memandang dua laki-laki itu secara bergantian sebelum tatapannya memohon kepada Livius untuk menyuruh Admand keluar.

“Admand, keluarlah!” titah Livius menyadari pinta Restia.

“Livi, apa berita itu benar?”

“Kau sudah mendengarnya ternyata. Ya, itu benar.”

Restia semakin panik. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Seseorang akan meninggal!

“L-Livi… tidak bisakah kau menarik titah mu? Ku-ku mohon,” ucap Restia kikuk. Ya, dia sendiri tidak punya alasan logis atas ucapan barusan. Pasalnya segiat apapun Restia menjelaskan, orang-orang dari dunia ini tidak akan mengerti.

“Itu sudah menjadi tugasnya. Kalau bukan dia siapa lagi yang akan berangkat ke medan perang?”
Dari sini sudah tahu kan alur pembicaraannya? Ya, ini tentang Elgar. Pemlik julukan sang dewa perang akan berangkat ke tanah di mana ia tumbuh dengan lumpur dan darah.

Lalu di sini lah Restia berusaha mati-matian mencegah Livius untuk menggagalkan misinya. Mengelak pun percuma. Kekhawatiran itu semakin menjadi saat Restia tahu perang itu akan menjadi nafas terakhir sekaligus makam Elgar di novel Matahari Eraslan.

Begitulah berakhirnya second male lead di novel Matahari Eraslan. Setelah perang itu berakhir, Elgar kembali sebagai pahlawan. Namun hanya jasad dinginnya yang kembali. Semua rakyat berduka. Livius yang paling merasa bersalah. Sebab, peeprangan itu tidak akan terjadi jika saja Livius mengambil jalan negosiasi. Akibatnya Livius menjadi karakter kejam. Ia semkain mengekang Aurora karena takut terjadi apa-apa pada miliknya satu-satunya yang tersisa.

“Livi, kita bisa gunakan jalur negosiasi. Selesaikan dengan cara damai dulu. Ku mohon Livi, kau akan menyesal jika mengirim Duke Elgar ke sana.”

Livius mengernyit. Tatapannya datar memandang Restia. “Katakan pada ku, apa yang membuat ku akan menyesal jika mengirimkan Elgar?”

“I-itu…. karena….”

“Bukankah kau terlalu khawatir calon permaisuri ku? Elgar sudah berpengalaman di medan perang. Rakyat saja percaya Elgar dapat membawa kemenangan. Kenapa kau tidak?”

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang