44. Pengakuan

21.2K 2K 26
                                    

"Satu, kenapa kau berkeliaran di malam hari?"

"Dua, kenapa kau berbohong dan menuduh Restia?"

"Aku perlu penjelasan dua pertanyaan itu," ucap Livius. Tak sekali pun ia menyurutkan tatapan tajamnya.

Hello? Apa di hadapan Restia benar-benar Livius yang sama di dalam novel?

"A-aku...."

Di suasana malam dingin ini hanya satu orang yang dipenuhi keringat dingin. Ya, dia adalah Aurora yang sedang kesulitan menjawab pertanyaan Livius.

Lalu di sinilah Restia, dengan segala ketulusan hatinya. Oh salah! Sebenarnya ia sudah pegal berdiri dan jengah menunggu Aurora buka mulut. Lebih dari apapun ia kedinginan karena buru-buru keluar dengan piyama tidur tipis.

"Yang Mulia, ini sudah larut. Lebih baik dilanjutkan besok saja," usul Restia.

"Baiklah," jawab Livius. Ia setuju dengan Restia. Situasi ini tidak memungkinkan untuk menyelesaikan masalah.

"Aurora, sebaiknya kau kembali ke kamar. Udara malam sangat dingin," sambung Livius.

Mereka berjalan kembali ke kamar masing-masing. Di luar dugaan, saat persimpangan koridor, Livius lebih memilih untuk mengantarkan Restia ketimbang Aurora. Hell! Senang sih tapi kok khawatir juga. Bukannya tadi Restia punya projek mendekatkan Livius dan Aurora? Hah! Rencana itu buyar berkat ulah Restia sendiri. Nasib-nasib!

Tangan Restia bersedekap. Walau di dalam istana, ternyata hawa dingin bisa masuk juga ya? Membuat pori-pori Restia menjerit ingin ditutupi. Kain tipis ini tak menghantarkan hangat sama sekali sampai sebuah jubah besar melingkupi tubuh Restia.

"Ini...."

"Pakailah, aku tidak mau kau sakit. Besok ada kelas etiket bukan?"

"Hah! Jangan mengingatkan ku. Aku sangat malas mengikuti kelas itu," gerutu Restia. Tak sadar ia mengerucutkan bibir.

"Haha, kau boleh membolos jika mau."

"Yang Mulia tidak tahu betapa seramnya Rowena ketika aku lebih memilih rebahan di kasur dari pada mengikuti kelas etiket."

"Benarkah? Wah, aku penasaran ingin melihatnya juga."

"Lebih baik jangan. Yang Mulia tidak akan menganggapnya wanita jika sudah melihatnya. Percayalah!"

Kekehan singkat terdengar lirih. "Selama ini hanya kau yang ku anggap wanita. Sisanya hanya sepotong kayu yang bisa bicara."

Langkah Restia berhenti. Apa maksud ucapannya? Selama ini? Berarti sejak Livius mengenal Restida Adler? Kalau begitu, apa-apaan sikapnya itu? Jika hanya Restia yang dianggap wanita kenapa selama ini ia mengacuhkannya?

"Yang Mulia, boleh aku bertanya satu hal?"

"Silahkan."

"Apa selama ini Yang Mulia mencintaiku?"

"Restia," panggil Livius. Ia menggapai pipi Restia dengan lembut. Hangat tangannya terasa menyeruak. Tatapan sendu teriring dengan senyum tulus. "Ku pikir aku sudha mencintai mu sejak pertemuan kita yang pertama."

DEG!

Be calm Resta! Be calm!

"La-lalu bagaimana dengan Nona Aurora?"

"Kenapa dengannya?"

"A-aku pikir Yang Mulia mencintainya."

"Percayalah, hal itu tidak akan terjadi dalam hidup ku. Hanya satu wanita yang akan ku cintai dan itu adalah kau, Restia Adler De Freya," ungkap Livius. Ia meraih tangan Restia dan mengecupnya dalam.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang