12. Dewa Perang Eraslan

47.4K 4.8K 53
                                    

Ruang sempit dan dingin di balik jeruji besi. Tempat di mana hukuman dunia diterapkan. Di sinilah Restia berada.

Lampu penerangan berpendar minim di ujung sana. Sumbu api yang diletakan pengait dinding menjadi satu-satunya cahaya.

Bau apek bercampur tengik menelusup ke indra penciuman Restia. Beberapa kali ia kesulitan bernafas karena kondisi ini.

"Kenapa bisa kayak gini?"

"Aurora... gimana keadaannya?"

Segala bentuk pertanyaan mengelilingi otaknya. Jika mengingat alur novel. Semua ini sangat melenceng jauh. Jika benar, Aurora diracun. Seharusnya hal ini dilakukan di ending cerita. Tapi nyatanya? Gejala yang timbul setelah memakan mie ayam buatan Restia kemarin menunjukan efek keracunan.

"Tapi... bukan aku...." gumam Restia. Ia sama sekali tidak terlibat dengan kejadian kemarin.

"Siapa pelakunya?"

"Pelayan kah? Karena hanya mereka yang bersinggungan langsung dengan makanan. Tapi, Argh... Sial! Ternyata kayak gini rasanya difitnah."

Bunyi derak terdengar. Pintu yang dikawal penjaga itu tampak terbuka. Cayaha terang pun menelusup masuk bersama pintu itu dibuka.

Pertanyaannya, siapa? Mata Restia menyipit untuk mendapati jawaban atas rasa penasarannya.

Seorang pengawal memandunya dengan lentera. Siluet orang tadi berjalan angkuh. Derap langkahnya pun ikut terdengar dingin.

"Buka!"

Tak lama suara gemericik kunci terdengar. Pintu sel Restia terbuka. Siluet itu mengambil alih lentera. Barulah saat itu Restia sadar jika dia adalah sang Kaisar.

"Salam untuk Yang Mulia...." ucap Restia lirih. Ia terlalu lemah untuk menyelesaikan ucapannya. Sebab sejak dirinya ditahan kemarin siang, sampai saat ini belum ada makanan yang masuk.

Livius melayangkan tatapan tajam nan dingin. Seolah Restia adalah pidana mati yang melakukan pemberontakan.

"Apa aku akan dieksekusi?" tanya Restia. Bibirnya tersenyum miris. Entahlah, dirinya menginginkan kematian agar bisa pulang tapi jika mati dengan keadaan difitnah seperti ini rasanya Restia tidak akan lega.

"Kamu akan tahu nanti," ucap Livius.

"Bawa dia!" titah Livius pada pengawal.

Restia dibawa dengan kasar. Mengekor di belakang punggung Livius. Gaunnya sudah tak berbentuk apik lagi. Karya yang katanya Rowena adalah karya terindah yang pernah ia ciptakan hancur begitu saja.

Lusuh di sana sini. Tak elak wajah Restia pun tampak kusut. Rambutnya acak-acakan. Namun, selayaknya dewi Aprodite. Wajah gadis itu masih tampak cantik walau tanpa make up sekali pun.

Restia di hadapkan oleh beberapa pelayan istana setelah keluar dari bilik jeruji besi. Mereka sempat melirik sinis pada Restia sebelum memberi hormat pada Livius.

"Bersihkan dia!" titah Livius.

Cahaya terang membuat Restia sadar dengan wajah sembab dan mata lelah Livius. Ia terlihat hilang semangat. Hanya kebencian yang tercetak di kedua matanya.

Di situasi seperti ini, jika Restia Adler yang berada di sini. Mungkin hatinya akan terasa sakit sekali. Melihat Livius yang sangat amat hancur ketika Aurora terluka.

Tapi, kenapa hati Restia juga terasa sesak? Rasanya ada banyak korset yang mengikat dadanya. Bahkan ini lebih sesak dari korset laknat yang sering dipakai Restia ketika undangan pesta.

"B-bagaimana keadaan Aurora?" tanya Restia kikuk.

"Seharusnya kamu tahu situasi. Orang waras tidak akan bertanya seperti itu!" ucap ketus Livius. Setelah itu ia pergi melengos.

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang