46. Peluang & Ancaman

20.5K 2K 28
                                    

Jalanan koridor ditapaki oleh kaki jenjang dengan balutan dress panjang. Warna biru langit berpadu dengan putih menambahkan kesan santai pada dress yang baru saja menjadi saksi atas pengakuan Aurora.

Restia memandangi birunya langit bergemul awan putih. Suara burung memenuhi indra pendengaran. Langkah Restia berhenti ketika suara burung itu tercemar oleh suara lain. Jika dicermati lagi suara asing itu mirip kumpulan manusia yang sedang menyoraki sesuatu.

Niat ingin menuju kelas etiket seketika menyimpang ke sumber suara itu. Restia menyisir tempat untuk sampai. Matanya spontan terbelalak ketika mendapati sekumpulan orang membentuk fromasi lingkar dan di tengahnya ada dua orang yang saling menghunuskan pedang.

Tidak! Jangan-jangan itu Roan?

Kekhawatriran Restia semakin menjadi saat matanya menangkap sosok Elgar dengan tatapan tajam. Tangannya lihai memegang sebilah pedang panjang dan mengayunkannya.

Restia tahu karakter dewa perang itu. Ia adalah sosok yang memiliki insting tajam. Mungkin saja yang menjadi lawannya itu adalah Roan yang berhasil ia tangkap.

Sebilah pedang terlepas dari tangan pemiliknya. Bersamaan dengan itu Elgar terilhat menyeringai sambil mengacungkan mata pedang tepat di leher sang lawan.

Tidak, Tidak, Tidak! Elgar tidak boleh membunuhnya!

“JANGAAAAANNN!” teriak Restia sekuat tenaga.

Selamat! Restia berhasil mendapat perhatian dari sekumpulan orang di sana.

“Siapa dia?”

“Entah. Dari bajunya sepertinya bukan pelayan.”

“Bodoh!”

“Dia calon permaisuri!”

“Ha?”

“Kenapa dia kemari?”

“Entahlah, kalau aku tahu mungkin suda ku jawab pertanyaan mu.”

Bisik-bisik dari kumpulan para lelaki dengan badan bongsor terlatih itu membuat Restia kikuk. Ia seperti akan berhadapan dengan raksasa pemakan manusia.

“Lady?” sahut Elgar. Ia memasukkan pedangnya kemudian menghampiri Restia.

“Apa yang Lady lakukan di sini?”

“….”

Restia tidak menjawab. Ia justru memasang raut khawatir sambil meihat ke arah lawan Elgar tadi.

“Lady?” panggil Elgar lagi. Kali ini ia sengaja menunduk demi mensejajarkan wajahnya dengan Restia. Kalau tidak begitu tegurannya pasti tidak akan digubris.

“Apa yang Lady—“

“Orang itu… kenapa kau mengacungkan pedang padanya? Dia salah apa?” seruduk Restia panik.

Kening Elgar mengerut. Ia menggaruk tengkuk belakang. “Dia sudah melanggar peraturan.”

“Tapi tidak harus dibunuh juga kan?!”

“Dibunuh? Sepertinya kau salah paham.”

“Aku melihatnya! Kau mengacungkan pedang!” karena geram, Restia mendorong tubuh Elgar supaya ia bisa melewatinya dan bertemu langsung dengan orang itu.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Restia khawatir. Tak tanggung-tanggung. Restia bahkan sampai berjongkok menyetarakan diri.

“Eh? Ah, iya. Aku baik-baik saja,” jawab pemuda itu kebingungan.

“Apa yang kau langgar sampai Duke Elgar mengacungkan pedang pada mu?”

“I-itu sebenarnya, aku telat datang untuk latihan. Makanya Duke Elgar menguji ku dengan adu pedang.”

The Villain Want to Die (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang