Soobin masih berdiri di ruang tunggu rumah sakit tempat para korban tragedi itu ditangani. Sambil memeluk erat Taehyun yang baru saja tertidur setelah tadi menangis meraung tanpa henti mencari ibu, air mata Soobin juga ikut mengalir deras begitu mendengar pernyataan Dokter mengenai salah satu korban tidak selamat yang telah selesai diidentifikasi. Benar, itu adalah ibunya.Soobin bahkan tidak bisa menemui jasad ibunya untuk terakhir kali, karena hampir seluruh tubuh itu telah hangus terbakar. Belakangan Soobin mengetahui penyebab kebakaran itu adalah ulah orang tak bertanggung jawab yang beberapa waktu belakangan ini begitu gencar menggusur flat itu untuk mendirikan sebuah apartemen mewah.
Ia dan korban lainnya bahkan tidak dapat menuntut keadilan atas apa yang terjadi. Orang-orang itu memiliki uang dan kekuasaan. Sedangkan mereka, hanya orang kecil yang tidak dapat memperjuangkan haknya. Bukankah dunia ini sungguh busuk?
Soobin menoleh ke sekitar, selain ia dan Taehyun, banyak juga orang yang turut kehilangan keluarganya. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan mereka. Kacau, dengan rambut kusut masai dan pakaian yang berantakan.
Soobin mengeratkan pelukannya pada Taehyun begitu merasakan tubuh kecil itu bergerak tidak nyaman. Terdengar rengekan juga sisa cegukan karena menangis tadi. Tangan mungilnya menggenggam kertas yang sudah lecek tak berbentuk, sebuah figur yang ia gambar di tempat terapi tadi. Figur mereka bertiga yang dengan semangat ingin Taehyun tunjukkan pada ibu.
Tapi bahkan belum sempat Taehyun mendengar pujian dari ibu seperti yang ia harapkan, takdir sudah terlanjur mendahului. Taehyun tidak akan pernah bisa menunjukkan hasil karyanya pada sang ibu.
"Hyung, sakit"
Soobin mendengar suara rintihan Taehyun mencicit pelan. Matanya masih terpejam tapi mulutnya terus menggumamkan kata-kata sakit. Soobin melepaskan pelukannya sebentar untuk melihat apakah ada bagian tubuh Taehyun yang terluka, dan ia mendapati goresan berdarah di telapak tangan dan lututnya. Itu pasti karena terjatuh dari sepeda tadi.
Soobin mengambil tangan Taehyun dan meniupnya pelan dengan nafasnya yang masih bergetar menahan isakan.
"Ssstt, tidak apa. Ini akan segera sembuh. Maafkan Hyung ya?" Bisik Soobin pelan, merasa bersalah karena Taehyun terjatuh dari sepeda karena ulahnya.
Cukup lama ia melakukan hal itu hingga Taehyun kembali tenang. Soobin kembali memeluknya dan mengusap-usap punggung dan kepala kecil Taehyun. Dalam hatinya berkecamuk, kacau dipenuhi banyak kecemasan.
Bagaimana mereka melanjutkan hidup kedepannya? Bagaimana jika nanti Taehyun kembali menanyakan ibu? Dimana mereka akan tinggal? Dan yang terpenting, bagaimana Soobin bisa menjaga Taehyun dengan baik, sebagai satu-satunya miliknya yang tersisa?
***
Asap masih mengepul dari sisa bangunan yang sudah hangus. Beberapa bagian sudah rompal tak berbentuk. Sebagian bangunan di kiri dan kanannya juga terbakar walau hanya sedikit. Beruntung jarak antar bangunan tidak berdempetan. Bersama para penghuni yang sebelumnya tinggal di flat itu juga, Soobin dengan sebelah tangan menuntun sepeda dan sebelahnya lagi menggenggam tangan Taehyun, menatap kosong bangunan itu. Nanar.
Benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi.
"Hyung, kenapa jadi hitam? Lalu ibu dimana? Hyung?" Taehyun menarik-narik tangan Soobin, menatap dengan pandangan bertanya dan matanya yang mulai berair.
Soobin menunduk, meletakkan sepedanya diatas tanah, lantas berjongkok dihadapan Taehyun. Memegang kedua bahunya, menguatkan walaupun dirinya sendiri pun sebenarnya tengah rapuh.
"Ibu sudah tenang, di rumah barunya. Kau jangan khawatir lagi"
Taehyun menggeleng, mulai menangis. Usianya sudah enam tahun, sudah paham apa yang terjadi setelah menyaksikan banyak hal sedari kemarin. Ia hanya belum percaya, masih menolak keadaan, masih berharap adanya peluang. Taehyun belum siap dengan keadaan saat ini. Taehyun belum siap ditinggalkan ibu.
"Lalu bagaimana dengan gambar yang aku buat kemarin? Ibu belum melihatnya. Juga mainan baru yang diberikan Dokter Sua, aku juga belum memberitahu ibu. Bagaimana ini Hyung? Bagaimana? Ibu bilang ingin melihat semua gambar buatan ku, tapi ibu belum sempat melihatnya, Hyung!"
Taehyun mulai meronta ditempatnya berdiri. Soobin, dengan air mata yang seolah tak kunjung kering kembali membawa Taehyun dalam pelukan eratnya. Menahan tubuh Taehyun yang seakan ingin berlari memasuki puing-puing bangunan yang sudah hangus itu. Orang-orang disekitar yang menyaksikan ikut menangis, teriris. Tidak tega melihat bocah sekecil itu sudah mengalami hal seberat ini.
"Ssstt, semua akan baik-baik saja. Ibu pasti sudah melihatnya dari atas sana. Tolong jangan menangis lagi, bagaimana jika ibu sedih melihatmu menangis, hmm?" Bisik Soobin lirih ditelinga Taehyun. Mengusap-usap punggung adiknya lembut.
Terbayang kembali dalam benaknya kejadian kemarin, juga tadi pagi saat jasad ibunya akhirnya dikremasi bersamaan dengan jasad korban lainnya. Dalam lalapan api itu, bukan hanya para jasad yang hangus terbakar, tapi hati Soobin ikut habis menjadi abu.
"Tapi ibu belum memelukku Hyung" tangis Taehyun masih terdengar bersamaan dengan keluhannya.
"Hyung yang akan memelukmu. Mulai sekarang, Hyung yang akan selalu memberikan Taehyun pelukan" kata Soobin lirih, teringat jika Taehyun selalu menagih pelukan dari ibunya setiap ada kesempatan. Terbayang juga kecupan yang sempat ibu tinggalkan dipuncak kepalanya kemarin.
Siapa sangka itu adalah kecupan terakhir?
"Tidak mau!" Pekik Taehyun keras, kepalanya menggeleng ribut.
Soobin menenggelamkan kepalanya di pundak Taehyun, menahan gejolak di tenggorokannya yang memaksa ingin dilepaskan, ingin berteriak dan mengadu.
"Kenapa? Kau tidak suka pelukan Hyung?" Tanya Soobin.
Taehyun menggeleng lagi. Memukul-mukul kepalanya sendiri yang terasa pusing karena terlalu banyak menangis.
"Aku mau ibu! Aku mau ibu!"
Soobin melepaskan pelukannya, menahan Taehyun agar berhenti menyakiti dirinya sendiri dengan sebelah tangannya. Lalu tangannya yang lain mengusap air mata Taehyun.
"Ibu sudah tenang, sayangku. Kau masih punya Hyung disini. Semua akan baik-baik saja. Kau percaya pada Hyung kan? Taehyun bilang bahwa Taehyun selalu percaya pada Hyung kan? Maka saat ini, kau juga hanya harus percaya pada Hyung. Ingat, semua akan baik-baik saja. Hyung akan selalu menjagamu"
Taehyun tidak lagi memberontak, walaupun tangisnya juga belum berhenti. Dia memeluk leher Soobin, menyandarkan kepalanya. Taehyun tidak begitu memahami apa yang Soobin ucapkan. Tapi Taehyun dapat menangkap sesuatu, bahwa Soobin dapat dipercaya untuk membuat semuanya baik-baik saja. Bahwa Soobin akan selalu menjaganya, bersamanya.
"Hyung, aku takut" lirih Taehyun susah payah diantara tangisannya. Soobin mengangguk, memahami ketakutan Taehyun karena Soobin pun sebenarnya merasa takut. Ia mengusap wajahnya sendiri yang juga banjir air mata, mengecup kepala Taehyun.
"Jangan takut. Ada Hyung disini" balas Soobin.
Bukankah takdir terlalu kejam pada mereka?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PIECE OF YOURS || TXT BROTHERSHIP
FanfictionBUKAN LAPAK BXB‼️😠 _________________________________________________________________________ Diusia 6 tahun, Soobin harus merasakan kehilangan untuk kali pertama. Ayahnya pergi, entah kemana. Tanpa pamitan, tanpa kata perpisahan. Hanya sebuah guci...