Taehyun pikir, semuanya akan berjalan menyenangkan.Saat anak-anak dikelas menyambutnya begitu ia tiba bersama Hana di muka pintu. Mereka langsung mengerubungi, antusias mengajak berkenalan, bicara. Banyak bertanya, sampai Taehyun kewalahan dibuatnya. Tapi Taehyun senang. Ia merasa disambut, merasa kehadirannya mendapat kesan yang baik. Mereka semua bahkan baru bubar saat bel berbunyi, disusul suara ketukan sepatu dari wali kelasnya yang terdengar berirama.
Jantung Taehyun berdegup, rasanya buncah oleh euforia. Taehyun selalu senang ketika bertemu dengan gurunya. Di sekolah lamanya, gurunya yang merupakan seorang wanita muda itu amat ramah, dan penuh oleh senyumnya. Taehyun sangat ingat, jika wanita itu selalu membawa paper bag berisi banyak camilan, yang nantinya akan dibagikan kepada anak-anak yang berhasil menjawab pertanyaan yang beliau ajukan. Taehyun juga ingat, wanita itu selalu mengajarinya dengan sabar, menuntunnya dan mendampingi tepat disampingnya. Menjelaskan dengan sabar hal yang tak Taehyun pahami.
Tapi rasanya angan itu buyar begitu mendapati wanita seusia ibunya yang muncul dengan wajah merengut. Tidak ada senyuman yang ditebarkan, tidak ada paper bag berisi camilan. Wanita itu bahkan hanya menyapa Taehyun sekilas, menjelaskan mengenai dirinya yang merupakan murid baru disini. Setelah itu bergegas membuka buku, memulai pelajaran.
Rasanya berbeda, bukan ini suasana yang Taehyun bayangkan. Bukan ruangan sunyi yang hanya diisi suara lantang guru barunya yang menatap tegas, nyaris tidak ada kelembutan. Suasana yang membuat Taehyun meringis, sama sekali tidak memahami yang gurunya sampaikan karena terlalu cepat. Taehyun sulit mengimbanginya.
Bahkan saat wanita itu mengatakan dengan tegas, meminta mereka menyalin catatan di papan tulis, Taehyun hanya terdiam. Berharap gurunya mau menghampiri, membantunya mengeja. Tapi lagi-lagi itu hanya angan.
Taehyun menatap papan tulis yang berada di depan, jauh dari tempat duduknya yang berada di belakang. Sebelumnya, Taehyun selalu duduk dibarisan paling depan. Ia termangu, mulai panik saat anak disampingnya melihat bukunya yang masih kosong.
"Hey, kenapa kau belum mencatat apapun?"
"Aku..."
"Cepat tulis, atau kulaporkan pada ssaem"
Mata Taehyun melirik tak tentu arah. Pusing melihat tulisan di papan tulis. Tapi perlahan ia mulai mengangkat pensilnya. Anak yang tadi bertanya masih disana, menyaksikan gerak gerik Taehyun yang terlihat kesulitan dan penuh ragu. Ia menyeringai, menyadari sesuatu.
"Kau tidak bisa membaca dan menulis?"
Taehyun menoleh, menggeleng. "Aku bisa"
Lantas anak itu menyodorkan bukunya yang sudah penuh oleh catatannya yang berantakan. "Coba, baca ini"
Taehyun menatap tulisan itu seksama, mulai memproses dalam otaknya yang bekerja sedikit lebih lambat. Namun belum sempat rampung, anak itu kembali menarik bukunya dan mengangkat tangan, memanggil gurunya.
"Ssaem! Taehyun tidak bisa membaca dan menulis!"
Teriakan lantang itu memancing atensi seluruh anak kelas menatap Taehyun yang membuatnya makin gelisah. Mereka menatapnya sangsi, tak sedikit yang tertawa, meledek.
Taehyun mulai gemetar, baru kali ini ia dihadapkan pada situasi menyebalkan seperti ini. Matanya sudah memerah, siap menangis. Taehyun malu.
Apalagi suasana yang tadinya sepi, mulai gaduh oleh mereka yang makin banyak tertawa, mengejek, bertanya banyak hal yang tidak semuanya mampu Taehyun tangkap, saling bersahutan. Taehyun rasa kepalanya akan pecah sekarang juga.
"Cukup!"
Seketika suasana kembali senyap saat suara galak itu menginterupsi. Taehyun menatap gurunya penuh harap, berpikir bahwa ia akan membantunya. Tapi wanita itu hanya menatapnya sekilas, dan meminta anak yang lain melanjutkan mencatat.
"Biarkan saja. Yang lain lanjutkan mencatat, atau nanti ssaem hukum"
Sebenarnya, wanita itu tahu bahwa Taehyun memiliki kekurangan. Disleksia katanya. Huh, dia bahkan baru kali ini mendengarnya, sekalipun tak pernah menemui orang seperti itu dalam hidupnya. Lagipula ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi anak seperti itu, jadi ia biarkan saja. Sedikit menggerutu, mengapa tidak disekolahkan di sekolah khusus saja.
Taehyun menunduk, mengusap air matanya yang menetes diatas bukunya yang masih bersih. Anak yang tadi bertanya masih memperhatikan Taehyun, nampak menikmati pemandangan didepannya.
"Dasar cengeng" cibirnya.
Taehyun tidak menjawab. Tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Kalau tidak bisa membaca dan menulis itu namanya kau bodoh. Lebih baik main saja sana di playground bersama para bocah"
Tangan Taehyun mulai menggerakkan pensilnya perlahan, mencoba untuk menulis. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Ia tidak bodoh. Taehyun bisa membaca, ia bisa menulis. Hanya saja ia memang lambat.
"Tahu tidak, tidak ada yang mau berteman dengan anak yang bodoh. Itu hanya menyusahkan saja"
Taehyun tidak tuli. Ucapan anak itu dapat ia dengar dengan jelas, yang tanpa sadar ia rekam dalam otaknya.
"Orang bodoh tidak boleh ada disini"
Taehyun mengepalkan tangannya, merengut. "Aku tidak bodoh"
Anak itu nampak puas karena mampu memancing Taehyun menjawabnya.
"Kau bodoh"
"Kau tidak bodoh"
"Tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa. Kau bodoh"
"Aku tidak bodoh! Tidak bodoh!" Taehyun melemparkan pensilnya ke lantai, berteriak kesal yang membuat atensi kembali berpusat padanya.
Guru yang tadinya tengah duduk sambil membaca buku, kini bangkit begitu suasana tidak lagi kondusif. Ia menghampiri Taehyun dan anak yang terlihat bersitegang dengannya. Matanya melotot dengan tangan berkacak pinggang.
"Berdiri di belakang sampai istirahat dan menghadap ke dinding! Renungkan kesalahan kalian disana"
Anak yang tadi mengganggu Taehyun nampak menciut, berdiri dari kursinya dan berjalan kearah belakang diikuti Taehyun yang masih gemetar menahan tangis.
Mereka berdua berdiri di belakang dengan menghadap dinding, saling bersebelahan dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Anak itu mendesis, mencubit lengan Taehyun dengan keras yang membuat Taehyun hampir menjerit. Kali ini ia betulan menangis, sudah tidak bisa lagi ia tahan. Tidak pernah ada yang memperlakukannya seperti ini.
"Kenapa menangis? Ini semua gara-gara kau! Awas kau, ku adukan pada ibuku nanti!" ancam anak itu.
Taehyun sesenggukan, mengusap lengannya yang memerah. Jika anak itu akan mengadu pada ibunya, lantas Taehyun harus mengadu pada siapa? Pada guci keramik berisi abu kremasi ibunya? Tidak mungkin untuk mengadu pada Soobin Hyung. Taehyun tahu bahwa kakaknya itu sedang sedih. Taehyun melihatnya menangis tadi malam.
Taehyun bahkan tidak memiliki tempat untuk mengadu.
"Ayahku itu polisi. Kau mau dimasukkan kedalam penjara ya?" kata anak itu lagi.
Taehyun menggeleng, gentar. Kalau nanti ia masuk kedalam penjara, Soobin Hyung akan sendiri. Soobin Hyung bilang, ia hanya memiliki Taehyun saat ini. Jika Taehyun pergi, Soobin Hyung pasti akan sedih.
"Kalau begitu, jangan cari gara-gara denganku. Jangan melawanku!"
Mau tak mau Taehyun mengangguk, pasrah.
"Soobin Hyung, aku takut"
***
Haiiiii
Huhu, maap baru apdet 😭🙏
Tapi serius deh berita kemaren tuh bikin mood gue ancur banget, males mikir, males ngapa-ngapain 🤧Yuk doain yuk, biar Taehyun nya cepet sembuh, cepet pulih, balik beraktifitas seperti sedia kala 🥺💪
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PIECE OF YOURS || TXT BROTHERSHIP
FanficBUKAN LAPAK BXB‼️😠 _________________________________________________________________________ Diusia 6 tahun, Soobin harus merasakan kehilangan untuk kali pertama. Ayahnya pergi, entah kemana. Tanpa pamitan, tanpa kata perpisahan. Hanya sebuah guci...