17. TEMAN BARU

146 36 0
                                    

HAPPY READING

▪︎🦋▪︎

"Dia terlalu sempurna, serasa ingin menggapainya namun terhalang oleh rasa sadar diri."

▪︎🦋▪︎

Setelah menyelesaikan kajian di Masjid, gus Alshad melangkahkan kaki menuju ndalem. Dirinya terus tersenyum membuat beberapa santri putra yang melihat itu jadi terheran. Sejak kapan gus yang seperti kulkas berjalan itu menjadi senyum-senyum sendiri dimalam hari.

"Assalamualaikum gus," salam seseorang.

Gus Alshad mengembalikkan wajahnya menjadi datar seperti semula saat mendapati yang mengucapkan salam tadi adalah ning Fitri.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Gus Alshad tak menatap ning Fitri dengan alasan untuk menghindari pandangan kepada seseorang yang bukan mahrom.

"Ada yang mau saya bicarakan gus, ini penting," ucap ning Fitri.

Pria dengan sorban hijau dipundaknya berdeham pelan. "Lain kali saja ning. Lagipula ini sudah malam, seluruh santri putra akan memasuki kamarnya masing-masing. Saya takut akan terjadi fitnah."

Alshad pamit tak lupa mengucapkan salam. Ning Fitri hanya bisa mengangguk meskipun hatinya terasa sakit saat merasakan gus Alshad sepertinya terus menghindar.

Sesampainya di kamar, Alshad mengedarkan pandangan. Sebuah ranjang dengan seprai abu-abu gelap polos, rak kaca yang berisikan berbagai kitab berada di pojok ruangan sebelah kanan dan meja belajar yang berada bersebelahan dengan rak kitab tak lupa pintu coklat, kamar mandi.

Dengan senyuman yang terpancar indah diwajahnya, Alshad mulai mendudukkan diri di kursi belajar, menatap sesuatu yang membuat garis dibibirnya kian melebar hingga terbitlah lesung di kedua pipinya.

"Assalamualaikum sepatu. Kayfa haāluk? Apa kamu baik-baik saja di kamar saya? Saya berdoa semoga pemilikmu akan mencarimu dan menetap di kamar ini."

Nampak seperti orang gila. Gus Abizar yang baru keluar dari kamar mandi milik gus Alshad geleng-geleng kepala melihat adiknya itu. "Adiknya mas masih sehat 'kan? Masa iya sepatu diajak bicara."

Berbeda dengan gus Alshad. Gus Abizar itu lebih manusiawi dan tak sedatar gus Alshad.

"Sejak kapan mas disitu?" tanya gus Alshad datar menatap sang abang yang masih berada didepan kamar mandinya.

"Em, setelah sholat isya di Masjid tadi. Karena kamu yang menggantikan abah memberi materi, jadinya mas memutuskan balik ke ndalem. Lagi pula ada sesuatu yang harus mas keluarkan." Gus Abizar menepuk-nepuk perutnya. Gus Alshad memutar bola mata malas.

Pria dengan baju kokoh biru dongker itu mendekat kearah seseorang yang masih terduduk di kursi. Abizar menelisik sepatu coklat mocca yang berdiam diri diatas meja belajar sang adik. Jika dilihat-lihat dari modelnya, ini sepatu milik wanita. Gus Abizar berdecak berulang kali. "Bisa mas cepuin nih ke ummi kalau kamu lagi menyukai seseorang."

"Mas dilarang suudzon," peringat gus Alshad.

"Mas nggak suudzon, Al. Lihat, nggak dapat pemiliknya, kamu malah mencuri sepatunya. Ck ck, mencuri itu dosa."

Ctak!

Gus Alshad meringis merasakan gus Abizar menjentik keningnya.

"Mas cepuin saya? Saya juga bakal cepuin mas, kalau mas suka sama ustadzah Amira."

▪︎🦋▪︎

Sedari tadi Asma tidak bisa tidur, padahal ini sudah larut, lampu di kamar asramapun sudah dimatikan, hanya saja kedua matanya tak mau terpejam. Tepatnya, Asma tidak nyaman dengan kasur tipis dan ukuran tempat tidurnya yang sempit. Tidak seperti di rumahnya, Asma dapat menikmati empuknya dan luasnya ranjang. Catat! Bak jarum yang berputar, begitulah cara Asma tidur.

AKU, KAMU, DIA DAN PILIHAN TUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang