━─━────༺༻────━─━
Gabby menceritakan semuanya pada Johan. Sang ayah mendengarkan dengan serius.
"Jadi, ada orang yang menembak si Dhika itu dengan garpatra?" tanya Johan.
Gabby mengangguk. "Aku rasa, orang itu bermaksud menyelamatkan Kak Bella."
"Apa mungkin, dia tersangka yang bersama Loji?" gumam Johan.
"Hah?" tanya Gabby.
Johan menggeleng. Ia menggebrak meja. "Seandainya dia (Dhika) masih hidup, aku pasti juga akan memberikannya pelajaran. Berani sekali dia menyentuh putriku."
Meski pun menyimpan dendam kesumat (pada Dhika), Johan tetap pergi ke lembah untuk mencari mayat Dhika. Ia melakukan penyelidikan lagi.
"Andhika Wisesa. Wakil ketua Organisasi Lancapatra."
Sidik jari di anak panah garpatra yang tertancap di tubuh Dhika dianalisis, ternyata berbeda dengan sidik jari yang ditemukan di TKP pemburu liar kemarin.
Johan dibuat pusing tujuh keliling gara-gara kasus itu. Memang sulit menemukan siapa pembunuh Dhika dan juga orang yang membantu Loji membunuh pemburu liar. Sidik jarinya tidak terdaftar di basis data, apalagi DNA. Jika mencari orang yang mahir menggunakan garpatra, semua penduduk asli Desa Kamawu bisa menggunakannya.
Namun, kematian Dhika tidak membuat Organisasi Lancapatra menjadi sedih. Mereka tampak biasa saja dan menjalani aktivitas organisasi seperti biasa. Bahkan, mereka langsung mengangkat wakil ketua baru pengganti Dhika.
Sementara itu, keadaan Bella sudah membaik. Ia duduk termenung di kamar. Bella tidak mengetahui kalau Dhika sudah tewas. Hanya Gabby yang melihat kejadian itu.
Kini, Bella kembali mengalami ketakutan dan kecemasan lagi seperti dulu. Ia tidak ingin lagi berinteraksi dengan orang asing. Padahal ia sempat senang saat orang-orang desa bersikap baik dan menerima keberadaannya di tengah-tengah mereka. Namun, semua itu terlupakan karena Dhika.
Malam harinya, Johan mengendarai motor untuk pulang. Ia melawati sungai yang mengalir tenang. Johan mengernyit melihat ada kain buntelan berwarna merah muda.
Johan menghentikan motornya. "Apa itu?" gumamnya sembari menyalakan senter di ponsel, lalu turun ke sungai untuk memeriksa.
Kedua mata Johan membelalak lebar kala mengetahui kalau isi dari buntelan merah muda itu ternyata mayat bayi yang masih utuh, tetapi tubuhnya bengkak dan membiru.
Johan tidak jadi pulang ke rumah. Ia langsung pergi ke rumah sakit di luar desa untuk autopsi.
Ponsel Gabby di meja berdering. Ada panggilan yang masuk dari Johan. Sejenak Gabby menghentikan aktivitas menulis. Ia mengangkat panggilan. "Iya, Pa?"
"Papa enggak pulang malam ini. Kunci semua pintu dan jendela," kata Johan dari seberang sana.
"Okay," sahut Gabby.
"Kakak kamu sudah mendingan?"
"Iya, sudah," jawab Gabby.
"Tolong, Papa mau bicara sama kakak kamu."
Gabby keluar dari kamar, lalu ia menuruni tangga menuju ke kamar Bella. "Kak Bella?" Gabby mengetuk pintu kamar kakaknya.
Tak lama kemudian, pintu dibuka.
"Papa mau ngomong sama Kakak." Gabby menyerahkan ponselnya pada Bella.
Bella menerimanya. "Iya, Pa?"
"Bagaimana keadaan kamu, Nak?" tanya Johan.
"Aku baik-baik aja, kok, Pak," jawab Bella.
"Setelah makan malam, jangan lupa kunci semua pintu dan jendela, lalu tidur," suruh Johan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMAWU [SUDAH TERBIT]
Mystery / Thriller━─━────༺༻────━─━ Johan dipindahtugaskan ke Desa Kamawu, yaitu sebuah desa terpencil di luar provinsi. Tidak sendiri, Johan pindah bersama dengan kedua putrinya. Awalnya, mereka merasa nyaman tinggal di desa tersebut. Namun, hingga di satu titik, m...