━─━────༺༻────━─━Johan menyalakan kompor listrik yang sudah ia perbaiki. "Udah bener lagi, nih."
Bella terlihat senang. "Papa emang the best!"
"Papa pernah belajar mekanik, ya?" tanya Gabby yang mengakui kehebatan ayahnya dalam memperbaiki barang-barang rusak.
Ponsel Johan berdering. Ia melihat layar ponselnya, ternyata Asnah yang menelepon. Pria itu menghela napas berat. "Kalau sudah cuci piring, kalian tidur, ya," ucapnya pada kedua putrinya.
"Iya, Pa." Kedua gadis cantik itu pun menyelesaikan pekerjaan mereka mencuci piring, lalu pergi ke kamar masing-masing.
Johan pergi ke ruang keluarga untuk mengangkat panggilan dari ibunya.
"Apa kamu sudah gila?! Kenapa kamu menjual apartemen kamu di Jakarta?! Itu satu-satunya benda mewah yang kamu punya!" teriak Asnah dari seberang sana dengan suara melengking.
Johan sampai harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara ibunya bisa merusak syaraf pendengaran.
"Ibu dan Ayah datang ke apartemen kamu. Saat pintu dibuka, Ibu kaget ada wanita jelek bermulut lebar yang membukanya. Ibu kira itu pacar kamu! Ternyata dia penghuni baru di apartemen kamu!" gerutu Asnah.
"Iya, aku menjual apartemen itu. Lagi pula, itu kan apartemenku, aku yang beli. Jadi, aku juga yang jual," sahut Johan.
"Terus, kamu pindah ke mana? Kamu sengaja mau jauh dari orang tua kamu ini?!" bentak Asnah.
Johan menghela napas berat. "Aku dipindahtugaskan ke luar daerah. Lagi pula, meski aku jauh dari Ayah dan Ibu, masih ada saudara lain yang bisa membuat kalian bangga, bukan? Jadi, biarlah anak gagal ini pergi."
"Jangan berbohong, palingan kamu dipecat sama atasan kamu. Iya, kan?" tanya Aji menimpali.
"Anak gagal juga harus berbakti pada orang tua. Kamu pikir, Ibu melahirkanmu tanpa alasan? Itu karena Ibu ingin kamu mengembalikan darah dan air susu Ibu yang telah Ibu berikan untukmu!" timpal Asnah.
Johan tidak berniat merespon. Percuma saja. Apa yang ia lakukan selalu salah di mata kedua orang tuanya.
"Setidaknya bilang dulu kalo mau pindah. Berikan alamat kamu. Kami ingin berkunjung ke rumah baru kamu," kata Aji.
"Iya, rumah baru kamu bagus, enggak? Di pusat kota di daerah mana? Ibu pengen pamer ke temen-temen Ibu," sahut Asnah.
"Alamatnya jauh, sangaaaaat jauh. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot datang ke mari," kata Johan. Ia mengakhiri panggilan secara sepihak. Johan sudah lelah dan tidak ingin mendengar apa pun lagi dari orang tuanya.
Terdengar suara ayam dari halaman belakang. "Sepertinya Bella lupa memasukkan ayam ke dalam kandang."
Johan pergi ke halaman belakang. Ia melihat ayamnya masih di luar pagar. Pria paruh baya itu pun memasukkan ayam-ayam ke dalam kandang. "Repot juga, ya, memelihara ayam," gumamnya.
Perhatian Johan teralihkan pada Rini yang sedang menyalakan api di tungku. Sepertinya apinya tidak bisa menyala karena kayunya basah.
Karena merasa kasihan, Johan menghampiri. Ia menawarkan diri untuk membantu Rini. Wanita itu mempersilahkan. Johan menyalakan api. Meski membutuhkan waktu beberapa menit, tapi Johan berhasil menyalakan api di tungku.
"Terima kasih, Mas Johan. Maaf, malah merepotkan." Rini merasa bersalah karena selalu merepotkan Johan.
"Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, kamu nyaman masak di luar rumah meski malam-malam begini?" tanya Johan sambil melihat ke sekeliling.
"Ya, mau bagaimana lagi, Mas. Di dalam rumah saya tidak ada dapur. Jadi, saya masak di sini," jawab Rini.
Johan merasa prihatin.
"Saya juga nyuci baju di sini. Kalau cucian punya warga, saya cuci di sungai atau di air mengalir dekat pemandian air panas," sambung wanita itu.
"Cucian punya warga?" tanya Johan kebingungan.
"Iya, saya buruh cuci."
Johan semakin merasa kasihan. Ia pun kembali ke rumah setelah berbincang dengan Rini. Johan melihat Bella sedang berada di ruang keluarga. Gadis itu terlihat kesal.
"Papa ngapain sih deketin Mbak tetangga sebelah? Papa suka sama Mbak itu, ya?" tanya Bella setengah menggerutu.
Johan tidak tahu kalau Bella ternyata melihatnya membantu Rini menyalakan api di tungku tadi.
"Papa cuma berniat baik dengan membantunya menyalakan api di tungku. Kasihan, dia tidak punya kompor dan tidak punya dapur di dalam rumah. Dia masak di luar malam-malam," kata Johan.
Bella menyahut, "Semua warga Desa Kamawu juga enggak punya kompor kali, bukan cuma dia. Lagian, semua orang di sini juga udah biasa masak di tungku. Udah tahu dapurnya di luar, tapi tetep aja masaknya malam-malam. Kenapa enggak dari siang coba?"
Johan menghela napas berat. "Bella...."
"Enggak mau, ah!" Bella pergi ke kamar tanpa mau mendengarkan penjelasan dari Johan.
Keesokan harinya, Johan bangun pagi dan memaksakan diri mandi di rumah meski airnya sangat dingin. Ia melihat sudah ada makanan di meja. Entah kapan Bella memasak.
Gabby sudah bersiap pergi ke sekolah dengan seragam barunya.
"Kakak kamu ke mana?" tanya Johan yang tidak melihat keberadaan anak sulungnya.
"Kayaknya abis masak, Kakak tidur lagi, deh," sahut Gabby.
Johan menatap pintu kamar Bella yang tertutup. Johan dan Gabby pun sarapan bersama tanpa Bella.
Bella sebenarnya tidak tidur. Di kamar, ia tengah menatap foto wanita cantik di ponselnya. Wanita itu tak lain adalah ibunya.
"Mama, Bella kangen sama Mama." Butiran bening menetes membasahi pipi Bella.
Sementara itu, Rini keluar dari kamar, menuju ke dapur di halaman belakang rumah. Ia terkejut melihat ada banyak kayu bakar yang kering di dekat tungku. "Apakah Mas Johan yang mencarikan kayu bakar?"
Jam 9 pagi.
Bella ketiduran di kamar dalam keadaan menangis dan memandangi foto ibunya, wanita yang sangat ia rindukan.
Bella terbangun saat mendengar suara ketukan di pintu. Gadis itu pun bangun dan membuka pintu utama, ternyata Sarip yang datang.
"Oh, Pak Kepala Desa?" Bella mengangguk santun. Ia mempersilakan Sarip duduk di kursi depan teras.
"Neng Bella, Bapak ke sini mau mendaftarkan kamu ke dalam organisasi pemuda-pemudi Desa Kamawu," ucap Sarip sambil mengeluarkan surat undangan dari dalam map yang dibawanya.
"Oh?" Bella tampak kebingungan. "Tapi, Pak, saya...."
"Bapak harap, Neng Bella mau ikut. Organisasi Lancapatra memasukkan anggota yang usianya 16 sampai 26 tahunan. Usia kamu berapa tahun sekarang?" papar Sarip diakhiri dengan pertanyaan.
"Sekarang 19 tahun," jawab Bella.
"Berarti sudah boleh masuk organisasi. Ada banyak gadis yang seumuran dengan kamu, jadi kamu enggak perlu canggung sama mereka," tutur Sarip.
Bella tidak tahu harus bilang apa.
"Rapar pertemuan Organisasi Lancapatra akan dilaksanakan besok malam jam 7. Datang ke Balai Desa Kamawu, ya." Setelah berkata demikian, Sarip berpamitan.
Bella menatap surat undangan di tangannya. Ia mendengus kesal.
━─━────༺༻────━─━
12.43 | 14 Februari 2022
By Ucu Irna Marhamah
Follow Instagram
@ucu_irna_marhamah
@novellova
@artlovae
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMAWU [SUDAH TERBIT]
Gizem / Gerilim━─━────༺༻────━─━ Johan dipindahtugaskan ke Desa Kamawu, yaitu sebuah desa terpencil di luar provinsi. Tidak sendiri, Johan pindah bersama dengan kedua putrinya. Awalnya, mereka merasa nyaman tinggal di desa tersebut. Namun, hingga di satu titik, m...