Part 61

67 9 3
                                    

━─━────༺༻────━─━

Johan fokus menyetir. Ia merasa lega karena mobil mereka sudah memasuki pedesaan dengan lampu penerangan di tepi jalan yang mereka lalui.

"Kita sudah memasuki Desa Maragas," kata Rini yang duduk di kursi belakang bersama Bella dan Gabby.

Sementara Devian duduk di kursi depan, bersebelahan dengan Johan yang menyetir.

Ada tugu batu bertuliskan "Selamat Datang di Desa Maragas" yang ditulis dengan huruf dan juga bahasa daerah. Jalanan berbatu di Desa Maragas cukup lebar. Bisa digunakan untuk dua jalur mobil.

"Sudah lama aku tidak datang ke sini, rasanya agak berbeda," gumam Rini.

Mobil mereka melewati perkebunan singkong di sisi kanan, sementara di sisi kiri adalah perkebunan jagung.

Sungguh pemandangan desa yang khas. Aliran Sungai Kamawu sudah tidak terdengar lagi.

Beberapa rumah penduduk mulai tampak. Rumah-rumah itu terlihat sedikit lebih modern, di mana sebagian besar bahan bangunan terbuat dari batu bata dan semen.

"Devian, Profesor Sutarjo di mana?" tanya Johan.

Devian tak menjawab. Ia terlihat sedih.

Johan menoleh sebentar pada Devian. "Devian?"

"Kakek meninggal, Bupati yang menembaknya," ucap Devian pelan. Ia membawa kartu memori berisi rekaman dari kamera tersembunyi di rumah kakeknya. Devian sempat membawanya sebelum kabur.

Profesor Sutarjo memasang kamera tersembunyi yang diletakkan di objek-objek tertentu di setiap ruangan.

Saat jatuh ke jurang dan memikirkan cara untuk naik ke atas tebing, Devian memeriksa kartu memori tersebut. Dari situlah ia tahu kalau Bupati telah membunuh kakeknya.

Johan merasa sedih mendengar itu. Ia mengusap rambut Devian sebentar, lalu kembali menyetir.

Devian mendongak menatap Johan. Ia menunduk.

"Aku turut berduka," ucap Rini.

"Terima kasih, Mbak," jawab Devian.

"Kenapa Pak Bupati bisa setega itu? Kenapa dia membunuh orang?" tanya Gabby setengah menggerutu.

"Dia bupati gila, cocok sekali menjadi anak dari kakek dan nenek kalian," gerutu Johan.

"Yang itu rumah orang tuaku," kata Rini sambil menunjuk salah satu rumah.

Johan menghentikan mobilnya. Mereka pun keluar.

Rini mengetuk pintu rumah orang tuanya, tetapi terbuka sendiri karena tidak terkunci.

Mereka terbelalak melihat seluruh penghuni rumah tersebut tewas dan mayatnya ditumpuk di ruang tamu. Darah menggenang di lantai disertai aroma khas besi berkarat.

"Ayah, Ibu!" Rini menutup mulut tak percaya. Butiran bening mengalir dari sudut mata kala melihat orang-orang yang ia sayangi tewas bersimbah darah dengan luka tembakan di sekujur tubuhnya.

"Sudah kuduga kalian akan datang kemari, terutama kamu, Johan." Seseorang keluar dari salah satu ruangan, ternyata Bupati.

Johan menarik Rini dan anak-anak ke belakangnya.

Bupati melanjutkan, "Karena aku seorang pemimpin kabupaten, mereka membukakan pintu saat aku dan orang-orangku datang. Aku pun menghabisi mereka dengan mudah."

Ternyata seluruh penduduk Desa Maragas sudah tewas di tangan Bupati dan orang-orangnya.

"Kenapa Pak Bupati melakukan semua ini? Kenapa membunuh mereka? Mereka tidak bersalah!" hardik Johan.

KAMAWU [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang