━─━────༺༻────━─━
Di dalam mobil, Johan yang memakai baju pasien tampak fokus menyetir. Ia melihat lokasi Gabby yang ia lacak di ponselnya.
Sementara di sampingnya, terlihat Rini yang duduk dan melamun. "Aku tidak menculik bayi itu, aku menyelamatkannya."
Johan melihat sebentar pada Rini, lalu kembali menatap fokus ke depan.
🌾 Flashback On 🌾
Saat hamil tua, Rini ditinggalkan oleh suaminya yang berselingkuh dengan wanita lain. Tentu Rini sakit hati.
Rini melahirkan dibantu oleh dukun beranak di rumah. Mantan suaminya datang dan tiba-tiba mengambil bayi itu untuk ditumbalkan. Rini tidak rela. Ia tidak ingin anaknya ditumbalkan. Namun, apa daya, wanita itu tidak bisa melawan karena tubuhnya masih lemah setelah persalinan.
"Aku akan mendapatkan tanah luas dari tetua desa kalau aku menumbalkan bayi ini. Jangan serakah! Bayi ini adalah bayiku juga," kata pria tak bertanggung jawab itu, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Rini yang menangis.
Karena bayi Rini pernah ditumbalkan di Sungai Kamawu oleh mantan suaminya, Rini menjadi sedih berkepanjangan. Ia selalu senang ketika melihat ada anak kecil yang bermain di depan rumahnya. Tak jarang ia memperhatikan atau bahkan bermain dengan mereka untuk mengobati rasa kehilangan dalam hatinya.
Terlebih lagi saat melihat Gabby, tetangga barunya. Bayi perempuan Rini mungkin akan tumbuh besar dan seumuran dengan Gabby jika masih hidup. Rini ingin menyapa Gabby, tetapi ia merasa sungkan. Rini berpikir kalau Gabby mungkin akan merasa tidak nyaman jika disapa.
Rini pernah menyapa Bella. Rini sangat senang karena Bella membalas sapaannya. Gadis itu tidak keberatan berbicara dan berinteraksi dengan Rini. Karena hal tersebut, Rini merasa tidak kesepian lagi.
Suatu hari, Rini bangun pagi dan pergi ke perkebunan jeruk miliknya yang tidak jauh dari Sungai Kamawu. Ia melihat dua orang yang berjalan menyusuri tepi sungai. Masing-masing dari mereka membawa bayi.
Kedua orang itu adalah Herni dan suaminya. Mereka menggendong bayi kembar mereka.
Rini merasakan firasat buruk apalagi saat ia melihat kedua orang itu menghanyutkan dua bayi tak berdosa di sungai dan pergi begitu saja.
Rini segera berlari sambil membawa dahan kayu untuk menolong bayi itu. Ia berhasil menyelamatkan salah satu bayi. Rini berusaha menggapai bayi yang satunya, tetapi tidak bisa. Arus sungai yang kuat membuat bayi itu hanyut dan semakin jauh.
Rini menangis mendengar suara tangisan bayi yang sudah jauh terbawa arus sungai.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menyelamatkan saudaramu." Rini memeluk erat bayi yang menangis dalam pelukannya. Wanita itu membawa bayi tersebut ke rumah dan merawatnya. Ia menyusuinya, padahal tidak punya ASI.
Orang-orang desa yang melewati rumah Rini mendengar suara tangisan bayi dari dalam rumah. Semua orang tahu kalau Rini adalah janda dan tidak punya bayi. Mereka curiga, lalu melaporkannya pada tetua desa.
Itulah sebabnya mereka datang untuk mengambil bayi tersebut dari Rini.
🌾 Flashback Off 🌾
Johan merasa sedih mendengar hal tersebut meski ia tidak menunjukkan kesedihan di wajahnya.
"Warga Desa Kamawu percaya kalau mereka tidak menumbalkan bayi di Sungai Kamawu, maka Kamawu akan marah dan membuat tanah Desa Kamawu menjadi kering. Itu akan membuat para petani gagal panen," tutur Rini.
"Jadi, Kamawu itu sejenis makhluk mitologi yang dipercaya dan dipuja oleh warga Desa Kamawu?" tanya Johan.
"Kamawu dalam bahasa daerah kami artinya adalah air. Itulah sebabnya, bayi-bayi dihanyutkan di sungai. Mereka menumbalkan bayi setiap satu bulan sekali. Setiap seminggu sekali, pria-pria tua itu akan membuat api unggun di puncak Gunung Kamawu, lalu melakukan upacara pemanggilan agar Kamawu senantiasa melindungi Desa dari marabahaya.
Setelah upacara api unggun, hujan akan turun, menandakan kalau Kamawu menerima persembahan dari warga desa. Oleh karena itu, setiap satu minggu sekali, hujan turun dengan rutin. Desa Kamawu tidak pernah mengalami kekeringan dan kemarau panjang," jelas Rini.
"Lalu, asap hitam itu jelmaan dari Kamawu yang semula adalah air, kemudian berubah menjadi asap. Setelah menjadi asap, dia menguap menjadi awan dan hujan pun turun. Apakah begitu konsepnya?" tanya Johan.
Rini kebingungan dengan pertanyaan Johan yang terlalu ilmiah.
Johan menghentikan mobil. Ia melihat pepohonan yang begitu rapat di depannya. Mobilnya tidak akan bisa lewat.
Sementara itu, di lain sisi.
Devian melajukan mobilnya mengikuti arah di Google Maps. Namun, mobilnya terhenti. Bukan karena kehabisan bahan bakar, tetapi di depan mereka adalah hutan belantara. Devian tidak akan bisa melewatinya dengan mobil karena pohon-pohon itu berbaris rapat.
"Bagaimana ini? Enggak ada jalan lain. Di depan hutan, di samping sungai, samping kanan juga hutan. Kita enggak bisa ke mana-mana," ujar Devian.
Bella mengambil ponselnya, lalu mencari jalan yang lebih mudah dilalui mobil. Mereka tidak mungkin jika harus berjalan menyusuri hutan. Mereka tidak pernah berjalan-jalan di hutan, apalagi tengah malam. Bisa-bisa mereka tersesat atau mengalami hal yang lebih buruk lagi.
Tiba-tiba sebuah anak panah garpatra melesat dan mengenai kaca mobil hingga pecah dan bolong.
Mereka bertiga berteriak karena kaget.
Orang-orang bermantel merah gelap keluar dari rimbunnya pepohonan. Mereka membawa garpatra di tangan masing-masing, lalu menghampiri mobil hitam itu sambil terus menembak dengan garpatra. Bahkan, ada anak panah garpatra yang mengenai ban mobil.
Tiba-tiba atap mobil terbuka.
Orang-orang bermantel merah itu berhenti dan berwaspada. Tiga botol kaca berisi cairan berwarna-warni terlempar ke luar. Saat botol tersebut pecah di tanah, asap warna-warni muncul dan tersebar membuat orang-orang bermantel itu terbatuk-batuk.
Ketika asap mulai menghilang, mereka mengecek ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka. Ternyata Bella, Gabby, dan Devian sudah melahirkan diri.
Orang-orang bermantel melihat air sungai keruh dan jejak sepatu yang basah di tepi seberang sungai, menandakan jika ketiga orang itu telah menyeberangi sungai dan pergi ke Desa Seberang.
Di dalam hutan, Bella, Gabby, dan Devian berlari mencari tempat aman. Bella membawa busur dan anak panahnya, sementara Devian dan Gabby membawa senapan bius di tangan mereka.
"Anjir, capek." Gabby mendengus kesal. Ia berhenti berlari dengan napas terengah-engah.
Bella dan Devian juga berhenti. Mereka kelelahan karena terus berlari.
"Ada apa aja dalam ransel Kak Devian?" tanya Gabby sambil mengatur napas.
"Banyak. Obat bius juga ada, obat yang bikin oleng, bikin mati rasa, bikin lemes juga ada, obat bikin ketawa juga ada. Beda-beda efeknya," jawab Devian. Perhatian Devian teralihkan ketika melihat ada cahaya di depan sana. "Kayaknya di sana ada orang."
Bella dan Gabby menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Devian.
Saat Devian melangkah untuk pergi ke sana, Gabby menahannya. "Kak Devian enggak denger?" bisik gadis itu.
Devian mengernyit.
Mereka bertiga mendengar suara orang-orang sedang membaca mantra.
"Enggak, enggak mungkin," gumam Bella. "Kita udah nyeberang sungai. Harusnya kita udah sampai di Desa Maragas. Kenapa kita bisa sampai di tempat ini?" imbuhnya.
Gabby memeriksa riwayat perjalanan di Google Maps di ponselnya. "Kita udah ngelewatin sungai tadi dan masuk ke hutan perbatasan Desa Maragas. Kita seharusnya udah nyampe ke sana. Tapi, di Google Maps, riwayat perjalanan kita cuma muter-muter naik ke Gunung Kamawu."
━─━────༺༻────━─━
12.43 | 14 Februari 2022
By Ucu Irna Marhamah
Follow Instagram
@ucu_irna_marhamah
@novellova
@artlovae
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMAWU [SUDAH TERBIT]
Mystery / Thriller━─━────༺༻────━─━ Johan dipindahtugaskan ke Desa Kamawu, yaitu sebuah desa terpencil di luar provinsi. Tidak sendiri, Johan pindah bersama dengan kedua putrinya. Awalnya, mereka merasa nyaman tinggal di desa tersebut. Namun, hingga di satu titik, m...