29. bagaimana rasanya?

990 216 77
                                    

Senyum pepseden 😁

Jihan POV

Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku berpacaran, sampai-sampai aku tidak bisa mengingat rasanya berpegangan tangan dengan lawan jenis.

Jangankan berpegangan tangan, berpelukan ataupun berciuman, aku sudah lupa rasanya seperti apa.

Aku tersenyum dari kejauhan ketika melihat sosok Apri muncul dari lobi kantor di lantai satu.
Tetapi senyumku tidak bertahan lama ketika mataku bersitatap dengan pemilik mata dari bocah tengil yang selalu menempel pada om nya.

Okta menatapku tajam dengan bibir mengecurut tajam.

Kalau saja dia bukan artis yang menyumbangkan banyak pemasukan pada agensi ini, kalau saja dia bukan keponakan dari Apri, sudah dari dulu aku dengan mudahnya menyingkirkan sosok menyebalkan yang bermana singkat, Okta itu.

Aku melambaikan tangan sebentar ke arah Apri ketika pandangan kami bertemu.
Apri tersenyum sekilas tetapi langsung menunduk begitu Okta menarik-narik lengan Apri meminta perhatian.

Dasar bocah tengil, gak ngerti situasi banget sih.
Bagaimana caranya aku dapat berduaan dengan Apri kalau belum apa-apa dia sudah menyita perhatian om nya seperti itu.

Aku melangkah pelan menghampiri mereka berdua dengan senyuman kembali mengembang ke arah Apri.

"Selamat pagi mas Apri" Sapaku lembut.

"Selamat pagi juga bu Jihan" Balas Apri mengulum senyum dengan rona merah di wajahnya.
Aku terkesima melihatnya.

Karena tidak ingin malu sendiri akibat kebanyakan senyum melihat wajah Apri yang selalu terlihat manis dan segar, aku lalu berjongkok menjajarkan kepalaku dengan Okta.

"Selamat pagi anak kebanggaan agensi" Sapaku dengan suara yang aku buat seramah mungkin.

"Tumben nyapa" Okta melengos tidak ingin mata kami bertemu.

Sesaat aku tertegun, gak Lilis, gak Apri dan sekarang Okta, kenapa reaksi mereka bertiga bisa sama seperti itu ketika aku menyapa mereka?

"Okta gak boleh gitu" Apri ikutan berjongkok di sampingku.

Yang di tegur oleh om nya hanya mencibirkan bibir bawahnya.

"Bu Jihan udah sarapan?" Tanya Apri sambil tersenyum ke arahku.

Manisnya, pacarnya siapa sih lelaki di sampingku ini?

"Belum, saya nunggu mas Apri datang, kita sarapan bareng yuk" Jawabku semangat.

"Ngomong-ngomong, jangan manggil saya ibu dong mas" Lanjutku pelan.

"Terus mau di panggil apa? Frau juga? Apa mbak?" Suara Okta terdengar menyebalkan.

Aku berusaha untuk tersenyum menanggapi perkataannya.

"Okta, gak boleh gitu, maafin Okta ya bu Jihan, mungkin karena masih ngantuk, dia jadi begini"

"Okta gak ngantuk, Okta begini juga kaya biasanya" Bibir Okta semakin mengerucut maju.

Sebenarnya tingkah laku Okta sangatlah menggemaskan, tetapi tidak di mataku.
Bocah tengil ini tampak menyebalkan.

"Nggak apa-apa mas, saya maklum kok, kalau gitu ayo kita ke pantry, Okta udah sarapan?" Tanyaku sambil berdiri.

"Okta, kalau ada orang yang nanya harus di jawab dong, om kan gak pernah ngajarin Okta begitu" Kata Apri karena Okta tidak menanggapi pertanyaanku.

Okta tampak memberengut.

"Belum" Jawabnya ketus sambil berjalan mendahului kami.

"Hehehe... maafin Okta ya bu"

RestuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang