kemarin pake jas, skrg pake kemeja, dasi'an mulu, mo kmn sih om? mo cepet2 ke KUA ya? 🙄🤭
Apri POV
"Okta" Aku memanggil keponakanku untuk kesekian kalinya.
Ku lirik Okta dari kaca spion tengah, anak yang ku panggil terlihat sedang memandang keluar jendela.
"Okta kenapa sih? Kok ngediemin om terus? Ini udah lebih seminggu lho" Tanyaku akhirnya karena Okta tidak merespon panggilanku.
"Oktaaa..." Panggilku lagi masih dengan nada normal.
"Apaan sih?" Tanya Okta sambil menghentakkan tangannya lalu bersedekap, wajahnya masih ke arah jendela.
"Om panggilin dari tadi gak nyaut-nyaut, kamu kenapa? Sakit?"
"Nggak!" Jawab Okta ketus.
"Kalau gak sakit kok diem aja? Apa karena memang gak mau ngobrol sama om?" Tanyaku lagi.
Okta tidak merespon.
Sejak kejadian Okta memergoki aku dan Jihan berciuman, keponakanku itu memang tidak mau berbicara denganku seakan menjaga jarak.
Okta sudah bangun tidur sebelum aku membangunkannya, ketika di perjalanan pun kami lebih banyak diam, Okta sering menutup matanya seakan sedang tidur dan tidak mau di ganggu.
Dan selama seminggu ini walaupun kami sedang berduaan, tidak ada kesempatan buat aku untuk berbicara hati ke hati.
Aku memang ingin membahas permasalahan di mana Okta melihat aku dan Jihan berciuman, walaupun susah untuk memulai pembicaraan masalah orang dewasa dengan anak kecil.
Sedih banget di cuekin Okta, biasanya keponakanku ini selalu menempel dan terkadang meminta gendong, tetapi sekarang jangankan menempel padaku, berbicara saja Okta tidak mau.
"Okta gak mau ngobrol sama om?" Aku mengulang pertanyaan karena Okta masih saja diam.
Aku melirik Okta melewati bahu, bibirnya mengerucut tajam terlihat dari samping.
"Okta mau ganti manajer? Gak mau sama om lagi?" Tanganku mengusap dada yang terasa sakit.
Kok sedih banget ya ngomong begini pada keponakan sendiri.
"Nanti om ngomong sama bu Jihan kalau Okta mau ganti manajer" Lanjutku dengan suara tertahan, tidak ingin terdengar cengeng walaupun aku tidak malu kalau menangis saat ini juga di depan Okta.
"Frau Jihan, frau Jihan!!" Sedekapan Okta semakin mengencang di depan dadanya.
"Okta gak mau dengar nama frau Jihan di sebut" Lanjutnya ketus.
"Kenapa?" Tanyaku bingung dan kembali melirik Okta.
Okta tidak menjawab.
"Bu Jihan kan udah baik ke Okta padahal Okta udah bikin kesalahan dan merugikan agensi" Seharusnya aku tidak berkata demikian kepada Okta, tanganku menepuk mulut setelahnya.
"Kalau model lain mungkin bakalan di pecat, tapi karena Okta itu keponakan om..."
"Pecat aja, Okta gak mau kerja sama frau Jihan lagi, huh!"
Waduh bahaya nih, kenapa malah jadi begini? Bisa gawat kalau memang Okta beneran berhenti.
"Dari pada berenti kerja, mending Okta ganti manajer aja, ya?"
"Kenapa ganti manajer?" Tanya Okta.
"Lagian Okta gak mau ngomong lagi sama om" Jawabku cepat.
Okta kembali tidak merespon perkataanku.
"Om sedih tau karena Okta ngediemin om" Kataku jujur.
"Okta kenapa diemin om?" Tanyaku kemudian.
"Okta gak suka frau Jihan" Jawab Okta.
Perkataan Okta tidak membuatku heran atau bingung karena memang sudah dari dulu Okta tidak suka Jihan.
"Terus apa hubungannya Okta gak suka bu Jihan sama ngediemin om?" Tanyaku memancingnya untuk memberitahukan alasan sebenarnya kenapa dia cuekin aku lebih dari seminggu ini.
"Om ngapain kemarin sama frau?"
Waduh, bahaya nih, jawab apa nih?
"Okta mau makan es krim gak?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Om jangan nawarin Okta es krim deh, jawab om, jawab"
"Jawab apa?" Tanyaku, tubuhku mendadak tegang.
"Om gak usah pura-pura, kemarin ngapain kaya begitu sama frau?"
Ini, saat ini, situasi ini, kenapa lebih tegang di bandingkan ketika aku di sidang oleh ibu yang aku pikir akan di omeli ibu habis-habisan tapi ternyata malah diberikan restu sampai memanggil Jihan sebutan 'nak Jihan' dan 'calon istri'.
"Eh kita udah sampe kantor, gak kerasa ya" Aku memarkirkan mobil dengan posisi mundur ke belakang.
"Kalau om beb gak mau jawab, Okta marah sama om, marah sama frau, huh"
BRAKKK!!!
Aku sampai terlompat kaget di tempat karena Okta menutup pintu mobil dengan membantingnya kencang.
Tenaga anak kecil kok ya kuat banget, keturunan siapa sih dia?
Tanganku mengacak rambut belakang frustasi.
Okta kenapa sampai bersikap begini, kenapa...
Tok, tok, tok!!
"Om, turun, payungin Okta, panas nih"
Untuk kedua kalinya aku melompat kaget di tempat karena kaget mendengar suara ketukan di kaca.Okta mengibas-ibaskan tangannya dengan wajah memerah dan bibir mengerucut.
Mulai lagi deh songongnya ngalahin artis atas.
Aku turun dari mobil setelah mengambil wadah makanan sarapan kami dari bangku tengah."Payungnya mana? Panas nih" Kata Okta sambil mengusap peluh di keningnya.
"Okta" Panggilku dengan suara kalem.
Okta mendongak lalu melengos tidak mau bertatapan lama-lama denganku.
"Ngapain pake payung? Ini kan tinggal nyebrang bentar doang ke lobi" Kataku sambil berjongkok agar menjajari wajah kami.
"Om tuh udah beda, om beb bukan om Okta yang dulu, om sekarang gak perhatian lagi sama Okta"
"Om beb udah gak peduli lagi sama Okta, om lebih peduli sama frau, sekarang sering nyebut-nyebut frau mulu"
"Okta gak suka frau, Okta lebih suka tante Manda, huh!" Okta memutar tubuh dengan cepat sehingga rambutnya menampar wajahku.
Tubuhku doyong ke belakang dan terduduk di atas aspal dengan tangan mengusap wajah pelan.
Wajah sakit, bokong sakit, tapi lebih sakit Okta memperlakukan aku seperti ini.
Tbc
wkwkwkw om beb kasiannn
24/12/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Restu
HumorWarning for +21 only Penulis hanya menuangkan ide cerita, tidak menganjurkan untuk dipraktekkan, harap bijak dalam membaca Happy reading 20/5/22 - 2/1/23