Bab 10 : Shy shy miauw

235 30 36
                                    

Beruntung saat diantar dan tiba di depan rumah kesadaran Mel kembali seratus persen, biarpun dilanda kantuk pikiran gadis itu masih melayang jauh entah ke mana.

"Mel?" Hampir sampai ke komplek perumahan elit tersebut. Nadi menyempatkan diri untuk mengajak mengobrol sedikit.

"Mel?" Panggilan ke dua, Mel baru tersadar mengangkat dagunya, yang ternyata tenggelam di lekukan leher lelaki ini.

"I-iya, Kak?"

"Hm. Kebetulan lo udah lulus juga. Gue minta nggak usah manggil gue pakai embel-embel 'kak,' okay?" Mel menoleh mengernyitkan dahi. Pasalnya, panggilan nama serasa agak ambigu.

"Loh, kenapa? Hmm, tiba-tiba banget?"

Nadi menoleh sekilas, selebihnya fokus menyetir. "Umur kita nggak beda jauh." Entahlah, asal bicara padahal ia sendiri sadar usia mereka lumayan terpaut jauh.

"Serius?? Emang Kakak umur berapa?"

"Jangan, Kak." Kerutan wajah tak suka muncul lagi. Mel malah semakin senang mengajaknya bicara.

"Iya, iyaa."

"Ya memang nggak semuda kamu, dua puluhan lah."

"Yaa berapaa? Aku kan masih belasan Kak, bukan dua puluhan." Mel mengerucutkan bibirnya gemas tak diberi respon.

"Ya intinya nggak setua itu. Dan satu lagi, kita ngomong santai aja." Dia sedang menyinggung cara interaksi mereka, dari lo-gue jadi aku-kamu, seakan sudah akrab.

"Kan udah? Lagian Kakak kenapa sih kayak takut banget sih disangka tua." Bisa dilihat dari kaca spion Mel cengengesan tahan tawanya agar tidak meledak. Jangan sampai, ia bahkan banyak berhutang budi pada Nadi.

"Lupain."

Nadi mengeratkan jemarinya pada kemudi. Urat-urat leher muncul lagi, setertutup apa dia? Mel mulai bertanya-tanya dalam hati. Dia punya banyak perubahan, dan begitulah semua orang jika sudah merasakan asam manisnya kehidupan, memuakkan.

Tiba di depan rumah. Mel turun lebih dulu, terlihat kusut wajahnya karena ulah Nadi. Pasalnya, lelaki itu terus bersikap cuek, enggan banyak bicara.

Ia merasa tidak ada gunanya susah-susah membuka topik pembicaraan, yang kemudian akan berakhir menciptakan kecanggungan di antara mereka berdua.

Mel sudah melontarkan banyak pertanyaan, termasuk, Pertanyaan yang merujuk ke pria-pria jahat tadi. Tapi jawabannya sangat singkat, tak memuaskan. Pintu depan terbuka lebar seperti menanti-nantikan penghuninya datang.

Senyuman tipisnya merekah sesaat. Gadis itu menghentikan jalannya, awalnya berniat menengok Nadi seketika diselimuti gengsi.

Kalau dia emang mau ngomong sesuatu, ya kan tinggal panggil gue gitu.

Mel menggeleng keras menyakinkan diri. Sebab ia yakin Nadi sedang berdiri tepat di belakangnya. Maka, jika ia ingin berbicara pasti dia akan menganggil.

Terhitung lewat lima langkah, sepuluh, lima belas, dua puluh....

Memejamkan matanya menunduk loyo. Sepertinya Mel salah menduga. Karena sebentar lagi kakinya akan menginjak lantai rumah tanpa berbicara ataupun memiliki keberanian untuk melihat wajah tegas lelaki tadi.

"Melea." Pergerakan terhenti bagai beku. Mata Mel langsung melotot. Malah sekarang berharap ini hanyalah bagian dari bunga tidur.

Mengigit bibir bawahnya, mau tak mau Mel berbalik. "I-iya Kak?"

"Ck, Nadi aja." Lagi-lagi salah berucap. Mel mengetuk jidatnya terkekeh malu, memang dasarnya pelupa. Lelaki itu mendekat, perlahan-lahan caranya.

"Masih minat jaga anak?" Si gadis mengerjap pelan mendengarkan. Ada setan mana yang merasukinya? Apakah setan penghuni hutan, belakang rumahnya?

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang