Bab 49 : Bayi ketiganya?

159 15 23
                                    

Jalanan penuh lampu kendaraan menyoroti. Ia berhenti di sebuah warung kecil untuk beristirahat sambil melepas beban pikiran. Lelaki itu sehabis kerja paruh waktu, peluh turun di sekitar pelipisnya menandakan seberapa kerasnya bekerja di bawah tekanan.

Ia akan melakukan apa saja demi menghidupi dan membahagiakan anak dan istrinya. Membakar tembakau menikmati kesendirian yang lebih hidup.

"Heh, Nadi. Capek banget kamu kelihatannya," tegur penjaga warung tersebut. Nadi membalas dengan senyuman, malah jadi asyik nyebat bareng.

"Mau minum?" Warung tersebut juga tempat ia biasanya memesan minuman anggur. Matanya menyala ragu-ragu.

"Lagi nggak pengen," katanya menolak. Untung Mang Dawang tak gampang tersinggung bila ditolak begitu, ia malah mendekati Nadi mengajaknya ngobrol tentang hidup seperti biasa.

"Gimana kuliahmu? Kalau udah sukses jangan lupain Mang Dawang lo ya." Nadi mengangguk di sela-sela hembusan napasnya memandang ke depan.

"Nggak akan."

"Tumben nggak bawa Harun dan kawan-kawan." Mang Dawang lebih mengenal Harun yang notabene-nya lebih sering mengikutinya dibandingkan yang lain.

"Mereka juga pasti punya kesibukan, Mang."

"Loh! Ini sebenarnya mereka yang punya kesibukan apa kamu sih?" Nadi terkekeh geli menyadari. Benar juga, justru dirinya punya kehidupan lebih sibuk dari teman-teman yang lain.

"Tunggu ya." Mode buaya Mang Dawang on melihat cewek cantik turun dari taksi dengan penampilan cantik––memakai dress sepaha.

"Eneng! Mau beli apa Neng?"

Nadi yang semula sibuk menatap jalanan pun melirik gadis itu sekilas mata. Dilihat-lihat penampilannya sedikit mengingatkan pada Mel, namun jelas ada perbedaan.

Kalau Mel selalu tampil dengan warna ceria, bedanya, selain rambut panjang lurus perempuan itu memakai segalanya serba hitam. Bahkan sampai ke lipstik yang dipakai. Tak lama menyadari gadis itu mencuri pandang ke arah hanya sebentar.

Larut dalam lamunan panjang sampai terdengar sebuah botol minuman diletakkan ke meja. Sekarang ia bisa dengan jelas melihat raut muka gadis itu sepenuhnya.

"Misi, ya." Kerutan dahinya semakin jelas namun mencoba tetap tidak peduli menyibukkan diri dengan sebatang rokok. Sampai perempuan tersebut jalan lagi mungkin mencari kendaraan umum.

Tampak kebingungan dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Dan segerombolan pemuda dan preman sekitar mampir ke warung yang sama. Ia bisa melihat jelas perubahan tak nyaman darinya. "Wisss, ada cewek bro."

"Tumbenan ada cewek cakep begini malem hari," sindir seorang preman memuji tapi merendahkan juga secara tidak langsung.

"Udah janda, jangan diganggu." Ada yang menyahuti.

"Lah, malah mantep!" kata Jeneral, salah satu teman Bintang yang ia kenali selain Erlan.

"Adiknya Leo bukan sih?" tambah Erlan. "Sayang cakep, tapi kagak bisa punya anak jiakhaha!" Berbicara seolah-olah tidak sedang membicarakan wanita di depannya. Walau pada kenyataannya, seseorang mengeratkan kepalan tangan tersinggung.

"Lah, malah bagus. Bisa genjot teross."

"HEH, BRENGSEK! KALIAN KIRA AKU NGGAK DENGER HAH?!" Sebagian berhasil dibuat panas dingin meskipun sebagiannya lagi mencoba santai. Erlan memutar bola matanya lantas mendekati cewek itu tanpa takut.

"Heh, cewek murahan. Coba bilang gih sama temen Abang lo itu, jangan kebanyakan ikut campur urusan orang kalau emang nggak mau disenggol!" Mereka sebenarnya lupa atau kah Nadi memang bagaikan batu di sana? Ia yakin apa yang dibicarakan Erlan ada hubungannya dengan terbongkarnya kebusukan adik sepupunya.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang