Bab 56 : Bilik renungan

139 16 26
                                    

Sekedar untuk mengambil nasi di ricecooker harus waspada mengintip ke kanan-kiri. Berkali-kali menghela napas karena yang ditunggu tak juga menunjukkan tanda-tanda kepergian.

Padahal sudah menyiapkan piring cantik dan juga lauk dipesan via online. Masa Mel harus menunggu berlama-lama lagi? Ia hendak mengintip sekali lagi namun justru menangkap ada tiga figur di luar sana.

"Nadi, kamu yakin mau terus bertahan?" Di sana ada Yoana, Jordan dan Nadi yang hanya diam baru menyuap sesuap nasi saja seleranya lenyap.

"Astaga, kamu ini ngomong apa sih, Ana?" Sementara Jordan masih dengan pendirian membahagiakan anak lebih dulu.

"Ya gimana Mas. Kasihan, Nadi. Istrinya nggak mau keluar padahal hari raya natal tinggal menghitung jari. Apa yang harus kita harapan dari gadis itu kalau dia keluar aja nggak mau, yakan? Lagian kayaknya nasibnya sama kaya aku nggak bisa hami-"

"Ma," tegur Nadi muak. Jordan menarik Yoana berusaha menyudahi pembahasan sensitif kali ini.

"Udah, Na. Kamu jangan ngomong gitu dong nanti kalau Mel denger kamu ngomong kaya gini pasti dia sedih," bujuk suaminya lagi sangat lembut.

"Ya sudah," balas Yoana. Ternyata benar bahwa kebanyakan wanita hanya mau dimengerti oleh pasangannya. Dan Jordan berhasil memperbaiki sifat egois lamanya jauh lebih baik.

Perlahan menggeser badan sedikit-sedikit seperti cecak merayap tembok. Usaha terakhir berjalan sia-sia. Belum lagi malah ketahuan basah.

Syukurnya hanya ada dia tersisa di sana. Semuanya telah pergi entah ke mana. Cukup melegakan sebenarnya namun juga mencekam dalam waktu bersamaan.

Tatapan tajam pria itu mengikuti pergerakannya. Cukup lama menahan lapar disebabkan oleh perkara nasi. Tiba-tiba suara lantang seseorang menggelegar ke seluruh penjuru tempat. "Kalau laper ambil aja kali nggak usah sungkan-sungkan, enggak juga lo yang gua makan," sindirnya sangat menjengkelkan. Membuat Mel ringan tangan memukul padatnya tembok.

"Aww!" Mengaduh kesakitan dalam kebisuan. Saking sakitnya suaranya pun hilang. "Emang dia pikir gue takut sama dia?" Mel mengumpulkan keberaniannya.

Kemudian menampakkan wajahnya diiringi seluruh badan lalu berkacak pinggang. Bentuk muka cewek itu sudah mirip emak-emak dasteran memarahi anaknya. "Apa lo?" tanyanya sewot. Sementara Nadi berpura-pura tak peduli menyuap masakannya yang ternyata, baunya enak. Mel mulai mengendus-endus bak kucing.

"Enak. Nggak mau?"

"Nggak! Muka lo aja nggak enak, apalagi masakannya!" bentak Mel gamblang.

Tetapi dari dilihat-lihat masakannya benar-benar terlihat enak. Tampilannya pun cantik, di sana juga tercium bumbu rendang menggugah selera untuk disentuh oleh lidah sayangnya, mengedepankan gengsinya.

Nadi mengabaikannya sengaja tidak menawarkan kedua kali. Tau gadis itu akan keras kepala mementingkan gengsi. Lantas fokus menyuap makanan. Agak heran melihat Mel keluar sekedar mengambil nasi dan minuman dari kulkas. Ya terserah lah ia hanya berharap Mel tidak mendengar percakapan ibu dan ayahnya tadi.

"Mel," panggilnya. Tanpa mahkluk lain sadari Mel sedang menahan air matanya. Lantas berbalik kembali memasang muka ketus.

"Hm, Mel? Aku cuma mau bilang, kita nggak usah buat anak lagi ya," katanya tiba-tiba. Oke, ini pertama kalinya Nadi mengubah caranya berbicara pada sang istri. Sontak rangkaian kalimat terngiang di ingatan namun dengan sudut padang berbeda.

Entah emosinya tak stabil tapi Mel merasa Nadi sedang meremehkan dirinya. Tentu ia mendengar ucapan ibunya tentang asumsi yang belum jelas.

"Kenapa?" tanya Mel dingin. Nadi menangkap perubahan tersebut dari segala aspek. "Lo lagi ngeremehin gue ya? Jangan pikir gue nggak bisa punya anak-"

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang