Bab 57 : Separuhnya, hilang

187 16 22
                                    

Sepuluh tahun kemudian....

Bersebelahan bengkel terdapat sebuah gerai KFC, kebetulannya keluarga kecil belum mengisi perut malam itu. Senyuman merekah menarik-narik tangan sang ayah.

"Paaa! Ada itu!" Dibalas senyum tipis. Sang ayah menangguk memahami selagi motornya dibenarkan. Menyebrangi jalan mereka, sungguh berhati-hati sebelum menangkat si gadis ke gendongan.

Sejak kecil Nawa heran mengapa pria itu tidak secerewet sosok ayah lain. Maksudnya, pada umumnya mereka akan mengomel atau banyak menasehati. Berbeda cerita dengan ayahnya. Apapun keinginannya dengan mudah sekali terpenuhi, juga tidak pernah sekalipun mendengar  komplain.

Memang menyenangkan di satu sisi namun di sisi lain Nawa punya keinginan ayahnya juga banyak bicara, bahkan tak apa bila ia diomeli panjang lebar, asal sosok kaku ini benar-benar hidup. Manik besarnya terpaku pada wajah kusam serta hiasan yang namanya 'kacamata' lama bergeming. Nawa berpaling beberapa saat memainkan rambut bagian depan ayahnya, agak berantakan. Heronya terkekeh menyapu batang hidung kecilnya. "Pa...," tegurnya saat sampai di depan gerai tujuan.

"Ya, sayang?"

Nawa meminta diturunkan tidak mau kelihatan manja. Nadi mengangguk saja memahami. Belum sempat masuk sudah bisa melihat keadaan di dalam sana. Lumayan ramai pengunjung terlebih—bersama keluarga lengkap. Kaki pendeknya memaku.

"Papa, kenapa kita cuma berdua?" Nadi menoleh secepat kilat. Pertanyaan menohok tadi sungguh disuarakan oleh anaknya sendiri. Lantas, harus jawab apa?

"Kenapa anak lain punya dua orang tua? Memangnya sejak kecil aku cuma punya Papa doang?" Lanjut dia berdialog panjang. Serasa menikam jiwa lapuknya. "Ke mana yang disebut Mama? Nawa nggak punya ya, Pa?"

"Soalnya kata temenku, ada yang namanya Mama juga-"

"Nawa, udah." Kepalanya mendadak sakit sulit mengontrol segalanya. Bahkan harus memakan durasi panjang demi menetralkan perih berlebih di uluh hati. Kini berjongkok di hadapan."Kamu...," gumamnya berat.

"Pa? Jawab aku. Salah aku bahas Mama?" Ia tilik urat-urat tangan dan sekitar leher menegang setiap membahas hal yang sama, selalu begitu. Benak Nawa dipenuhi tanya.

Sang ayah berkedip sekali sejak menangkap derap langkah sekilas dari belakang namun saat menoleh, kosong. Tiada siapapun di sana, kecuali pemandangan rumah bercat putih bersih dinyalakan oleh penghuninya.

"Pa? Aku sebenarnya punya Mama nggak, sih? Papa bilang ada kan nah, kalau gitu sekarang mana?" Menadah tangan si gadis kecil. Makin memberatkan pula tiap pijakan dimulai pada malam hari ini, detik ini.

~~~~

Tinggalnya masih di daerah perkotaan. Di sebelah gang sempit dilihat dari kejauhan bisa dilihat saat menggunakan bantuan kacamata. Gelap dan kesannya lumayan sepi, keluar dan masuk pun bagaikan takut orang jahat mengikuti.

Satu-satunya tempat yang menjadi muaranya ketika dada bergemuruh sesak seakan kekurangan asupan oksigen di mana-mana. Jangankan membawa persiapan, bahkan tidak berpikir akan berdiri sangat lama.

Selalu begitu. Tak membawa uang untuk kebutuhan healing atau semacamnya. Jangankan makan, badan tingginya dibiarkan kedinginan setelah hujan melanda kota.

Tangannya sedikit bergetar saat matanya merekam pergerakan yang ditunggu. Di luar hujan dan perempuan di sebrang masih memeluk tubuh tanpa adanya pelindung. Beberapa langkah lagi padahal sampai.

Sebelah kaki mundur selangkah lantas menginjak punggung kaki lain yang dibaluti oleh sepatu hitam padat. Tersentak jiwanya sesaat. "Mau apa? Ayah khawatir di rumah."

Ia membalas memakai senyuman tipis. Pria itu menepati janjinya akan menjadi kepala keluarga yang baik. Menciptakan perhatian, kehangatan hanya melalui kasih sayang. "Pinjam payungnya," pintanya memohon.

"Buat?" Bulir-bulir bening menimpa alas bumi menyertai debaran tak bertujuan. Pandangan hambarnya seakan menjelaskan sesuatu, namun bentangan rintangan terus menguji.

Baju si pengamat tipis kain, perlahan-lahan mulai basah kuyup sedikit menjiplak bentuk tubuhnya. Beberapa kali mencuri pandang ke arah wanita sebrang jalan. "Lo nggak mikir udah terlalu lama? Sekarang gue mau ketemu dia."

Bisa dilihat ada sisa-sisa harapan terkubur tersampaikan oleh manik pekatnya. Biar Leon bisa merasakan penyesalan mendalam, di sisi lain masih belum yakin.

Desahan ringan mewakili ungkapan hatinya. "Kita tinggal di kota yang sama, nggak terlalu jauh juga. Gimana susah itu nemuin dia? Senyuman kecut menusuk. Nadi mendorong pelan bahu, pria yang sudah dianggapnya seperti kakak kandung sendiri menyalurkan ketidakberdayaan.

"Kamu ke mana saat dia membutuhkankanmu?" Dipertanyakan sudah satu pertanyaan mejanggal lama ingin ditanyakan. Penglihatan keduanya menajam mengharap pengertian."Lagipula, aku sudah terlanjur berjanji pada diri sendiri untuk tidak membiarkan kamu menyentuhnya, kecuali dia bersedia."

Nadi masih sama bodohnya, sulit menerjemahkan yang terlintas di kepala. Hingga kisah hidupnya menjadi abu-abu, tidak berwarna sama sekali. Apalagi ketika sumber cat berwarna-warni yang pernah singgah, memilih berhenti mewarnai.

Payung tersebut diperebutkan oleh dua pria dewasa di bawah langit gelap. Leon menggeleng keras ikut merasakan sakit yang sama, namun justru bukan kesakitan adiknya yang diterima akal.

Berkali-kali Nadi meredam sesak dan duka lara yang mendera kala airnya berjatuhan, membasahi wajah kusam kian melembur bersama cairan asin. "Udah sepuluh tahun berlalu, dan lo masih sekeras ini?" desahnya berat.

Apa mungkin benar hukuman sepuluh tahun belum sepadan dengan rasa sakit yang diterima oleh istrinya selama ini? Tetapi apakah masih kurang? Kini tersadar betul telah menyakiti wanitanya terlalu parah.

"Apa kamu bahkan yakin dia sudah pulih?" Pertanyaan menohok lain ia lontarkan. Leon menepuk pundaknya, tatapan tajamnya tak lagi seberkuasa dulu. Seiring berjalannya waktu jiwa dan raganya melemah. Nadi mengangguk.

"Anggap saja ini karma, atas perlakuan burukmu terhadap istrimu dulu." Leon mundur selangkah berhasil menguasai payung di genggaman. "Biar aku yang temui dia."

Anggap saja, karma? Sulit diterima memang namun tak tersedia opsi masuk akal lain. Selain, harus terus mengalah lagi dan lagi.

Berat hati Leon melangkah lebar ke sebrang jalan hendak menjumpainya. Perempuan dengan dress selutut, sangat cantik. Sayang, jangankan menyentuh.

Sekedar memandang dari jarak dekat hanya menjadi andai-andai. Terkatup rapat bibirnya melihat Leon memberikan payung datang sebagai pengganti peran. Kala dia menebarkan senyuman pertanda syukur atas kebaikan Tuhan, lebih dari cukup bagi Nadi.

Menyadari senyuman tadi bukan teruntuknya. Mendadak kehilangan semangat gairah hidup. Datar kembali raut wajahnya. Kediaman bernuansa putih tulang terang benderang, sejak seseorang masuk lalu menutup kembali memudarkan keinginan menggapai.

Nadi menyesal, sungguh menyesal. Apakah itu yang ingin didengar oleh wanita tercintanya selama ini? Kalau iya, Tuhan tolong beri kesempatan membahagiakannya biar hanya sekali.

Sekali saja. Tidak akan ia sia-siakan.

End?

****
𝓝𝓪𝓭𝓲 𝓭𝓪𝓷 𝓣𝓾𝓪𝓷 𝓟𝓾𝓽𝓻𝓲𝓷𝔂𝓪.

Seandainya epilognya kayak gini, menurutku akan lebih sad dibandingkan epilog wtsgd😔

Sehari aku akan update satu bab biar sekalian tamat minggu ini.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang