Bab 43 : Situasi mencekat

97 12 22
                                    

"Coba kita lihat. Udah cengeng, nantangin, ceroboh, siapa lagi kalau bukan?" Nadi menghela napas lelah. Sementara gadis itu masih betah selimutan di atas kasurnya.

Mata khas anak kucing terus menyoroti langkahnya meskipun telah diomelin berkali-kali. Ia sadar kemarin bersikap sangat menyebalkan dan ceroboh.

Ini hari terakhir mereka berada di Swiss. Tepatnya, sore nanti akan kembali ke negara asal karena telah genap seminggu. Leon datang membawa buah-buahan untuknya. Seperti biasa. Lelaki itu selalu bersikap sangat manis memamerkan senyuman. Jelas tidak menjengkelkan seperti suami kakunya.

"Udah beli banyak apel buat kamu. Aku lupa di depan juga ada, boleh dipetik lagi," katanya. Sayang, terkesan agak membuang-buang uang dan waktu.

"Makasih, Kakak!"

Dari ekor matanya bisa mengawasi pergerakan Nadi menatap cepat ke arah mereka. Ia sibuk membereskan pakaian juga mengawasi istrinya dalam diam.

"Sama-sama... kapan-kapan bisa ke kebun apel di sini ya. Itu punyanya pamanku," jelasnya. Matanya langsung membulat tampak sangat antusias.

"Beneran, Kak? Asyikkk." Ia mengigit sekali. Lalu kembali berpikir. "Kapan? Kan bentar lagi kita udah mau pulang," rengeknya. Mukanya memelas.

"Iya, nanti ya. Kita ke sana sama...."

Leon mengedarkan pandangannya jauh pada Nadi, jelas sedang mengawasi. "Sama Nadi, terus sama Casey dan Nawa. Soalnya ayah udah pulang, biasalah panggilan pekerjaan." Mel mengangguk mengerti.

Netranya bertemu dengan pandangan tajam prianya. Ia sedang meminta persetujuan namun Nadi tak mengatakan apapun malah bertingkah makin sibuk santai mengabaikan. "Hm, kalau gitu saya keluar dulu," ucap Leon izin pergi diangguki Mel segera.

Mel mengangkat kepalanya memerhatikan. Seperti dugaannya Nadi akan berpura-pura sibuk melakukan sesuatu untuk menghindar.

"Kaka-"

"Ngapain lo manggil Leon begitu?"

"Hm, maksudnya?"

"Kenapa, lo manggil dia kakak juga? Sama kaya gua." Ia mengharapkan jawaban. Tetapi Mel sendiri kebingungan bagaimana cara menjawab.

"Emang kena-"

"Nggak boleh. Dan kita langsung pulang, nggak ada ke mana-mana lagi. Inget kaki lo aja masih sakit kan?" Mel terpaksa menelan pahitnya kenyataan. Sebenarnya Nadi ada benarnya, tapi mengapa ia sangat kesal?

"Ngatur mulu deh. Pokoknya aku mau ke sana, Nadd. Ini hari terakhir loh aku di sini." Nadi berkacak pinggang di hadapannya. Tangannya tiba-tiba menangkup pipinya diringi tatapan lembut.

"Aku mohon, Mel. Emang nggak lihat aku udah capek, hm?" Mel hanya terdiam saat suaminya memberikan kecupan ringan pada bibir merahnya, jelas enggan memberi balasan karena terlanjur jatuh.

"Kamu selalu kayak gitu, sekarang apa lagi alasan kamu buat ngalangin keinginanku?" Suaranya bergetar kecewa. "Aku kan masih bisa jalan, nih."

Gadis itu memang masih bisa berjalan, namun kakinya masih pincang. Ia tak sadar bahwa Nadi bersikap begitu sebab terlalu mengkhawatirkan keadaanya sekarang.

"Terus lo maunya apa hm? Mau jalan sama dia, itu kan? Terserah, gua nggak peduli." Nadi berbalik badan berusaha keras untuk mengabaikan Mel, biarpun hatinya sekeras batu bertolak belakang.

Mel menuduk menghadap ke arah lantai. Ia sudah terlanjur membuat keputusan mau tak mau lanjut terlanjur gengsi. "Ya udah, kalau gitu aku mau pergi mesra-mesraan aja sama kak, Leon!" Kakinya melangkah perlahan-lahan menuju pintu, tak memedulikan Nadi.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang