Bab 47 : Selimut kabut dan awan

98 10 18
                                    

Brak!

"Sudahlah. Jujur aja, jadi apa kamu tidak hanya melecehkan dan melakukan penganiayaan terhadap anakmu ya?" Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka pelecehan dan penganiayaan terhadap putrinya sendiri.

Menemukan beberapa alat bukti yang menguatkan, berupa keterangan saksi, rekam keterangan ahli medis, dan petunjuk lainnya. Demi melengkapi ada pula keterangan diperoleh dari tersangka.

"Apa kau mengenalnya pria ini?" Disusul bersama lampiran gambar sosok asing perlahan berubah familiar. Mengernyit dahinya menatap dua orang oknum yang bertugas mengintrogasi secara bergantian kemudian terkikik.

Bagai hilang akal sehat. Pria yang ditanya kebanyakan diam dan melamun. Sebelumnya masih bisa berdalih mengenai tuduhan pelecehan dan penganiayaan pada putrinya.

Tak disangka-sangka, pelaku mengangguk mengakui kesalahannya. "Aku juga membunuhnya." Semuanya terdiam kesulitan berkata-kata.

"Memang bagaimana caramu membunuhnya? Bukankah menurut berita yang beredar beliau hanya terpeleset dari lantai 5 seorang diri?" Selanjutnya melontarkan pertanyaan lain, selebihnya hening kembali.

Pria itu menatap mereka satu-satu enggan berbicara. "Mau diapakan baru mau bicara?" ujar salah satunya berpikir.

"Mohon izin, bisakah beri waktu sebentar? Saya mau bicara dengannya," ucap seseorang di belakang sana. Ginanjar tak tau pasti siapa, yang jelas suaranya tidak lah asing.

"Jaksa, Leon kau datang? Ya udah tapi pastikan kau berguna, dan pastikan dia ngaku."

Perlahan-lahan dipastikan orang-orang di sana menyingkir keluar. Tinggal sisa satu orang menutup pintu kemudian berjalan mendekat.

"Apa motif Anda membunuhnya?"

"Apakah jika saya menjawab semuanya selesai?" katanya. Tiba-tiba saja Leon tertarik memposisikan dirinya di posisi si pelaku.

"Betul. Semuanya justru semakin panjang dan rumit. Tetapi negaramu punya hukum dan ketentuan yang berlaku." Samar-samar Leon hanya melihatnya mengangguk. Pandangan angkuhnya berubah menyedihkan.

.

. .

. . .

"Kedatanganku ke sini bermaksud ingin melamar Marwa." Bersimpuh seorang remaja di hadapan ibu dan ayah kekasihnya, meminta restu.

Tak terhitung berapa kali keduanya datang sekedar meminta restu, penolakan demi penolakan terus ia dapatkan.

"Huft. Bisa mengharap apa saya? Kamu itu udah pengangguran! Ayahmu hanya kuli bangunan, belum lagi kau mandul! Bagaimana bisa menghasilkan keturunan."

"K-kita bisa childfree-"

"Nggak ada Marwa! Kami menginginkan cucu jangan pernah berpikir untuk childfree."

"K-kalau begitu. Kami bisa saja adopsi anak," bujuk Ginanjar.

"Nggak ada, Ginanjar. Kami menginginkan keturunan yang terlahir dari rahim anak kami." Melemas sudah keduanya. Mendengar penuturan Siska dan di sampingnya ada Maroon yang kerap mengelus-elus punggung.

"Ayah, Marwa mohon... Tolong restui hubungan kami." Kedua kali justru anaknya yang bersimpuh meminta restu saking cintanya.

Sementara Ginanjar mulai pupus harapan meraih impian. Berakhir sakit hatinya acap kali menjadi hinaan. Tentang keluarganya yang jauh dari kata berada, dan kondisi fisiknya tak memadai.

"T-tapi kami saling mencintai Om, Tante." Siska menilik raut wajah menyedihkan anak itu bosan. "Aku janji akan membahagiakan Marwa."

"Dasar nggak tau diri! Pergi kamu! Roy lebih pantas untuk Marwa. Dia laki-laki adalah yang mau bekerja keras! bukan betah menganggur, masa depannya lebih cerah darimu!" desis Siska terakhir kali.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang