Bab 9 : Tanpa nama

122 31 38
                                    

Bangun saat adzan magrib berkumandang. Adalah salah satu rutinitas terburuk yang membuatnya dianggap pemalas, meskipun telah bekerja seharian. Khususnya pemuda yang masih betah mengulung tubuhnya dengan selimut tebal.

Tirainya mengibas anggun, belum diketahui siapa pelaku usil yang sedang tertawa garing di sampingnya, bahkan untuk membuka mata saja terasa amat berat.

"Lo-" sebelum memastikan, rupanya telinga sudah kelewatan peka.

Bugh!

"Narasi!" sentaknya. Mulutnya monyong ke depan kemudian menjulurkan lidah, senang dapatkan atensi manusia sedingin beruang es di kutub utara.

"JIAKH! MUKE LO SEDATAR JALAN TOL SEKUSUT HATI LO TANPA SI DOI."

Heh?

"Si paling punya doi." Lantaran kesal ia langsung mendorong badan lemas sepupunya keluar dari kamar ngacir mandi dulu lah, minimal.

Di usia yang tidak bisa dibilang muda banget, tapi ya bukannya tua juga. Berakhir celana pendeknya dipeloroti ke bawah oleh si bungsu malah mendecih ketika dilemparkan tatapan tajam maut.

"Sempak lo doraemon?" selidik Bintang memasang seringai santai. Si pemilik sempak melotot heran walaupun sebenarnya tidak terlalu kaget juga. Ya sudah biasa kan dia begini?

"Bocah. Kolor lo tuh hello kitty, " dengusnya kasar, ketawanya dibuat-buat.

"Anjing. YA KAN DIBELIIN IBU!" Si Bintang menyangkal. Anak Mama satu itu memang tidak pernah mau mengalah soal berdebat. Mentang-mentang anak bungsu suka, sekata-kata.

Oh? Terlalu cepat kah kalian mengenal sisi gelap Bintang? Sepertinya, Narasi Bintang si anak agak populer yang punya banyak antek-antek di sekolahnya. Ya populer ya, tapi nggak banget.

Kalau mahkluk yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu, namanya Dilan. Eh, bukan. Nadi? Ah, Nadilan. Namanya agak ribet memang cuma ya biar aesthetic aja gitu. Ini sih kata Papanya waktu pertama kali brojol. Nadilan Skalawana. Bagaimana? Biasa saja memang nggak terlalu ribet. Ya, yang ini nggak penting sih tapi ya biar kalian tau aja. Tak kenal maka tak sayang kata, orang.

Bodoamat. Nadi turun lebih dulu setelah kuping menangkap signal dari om. Teriakkannya kayak pakai toa. Untung Nadi sayang pakek banget malah, jangan pakein cabe.

Harris duduk bersama istrinya, berhadapan. Tentu dengan kepala Aini membelakangi, namun sejauh ini kupingnya bekerja dengan baik mendengarkan percakapan mereka.

Di wastafel. Piring kotor selalu mengantre untuk dicuci, itulah mengapa Nadi menghembuskan napas sekarang.

Dua tahun melepas masa pengangguran tidak membuatnya terlihat keren di depan tante Aini. Meskipun mereka bukan orang tuanya,
Nadi juga ingin membahagiakan mereka.

Perutnya berbunyi protes minta diisi nasi. Sedangkan sementara ini rasanya tidak enak bila harus makan lebih dulu sebelum selesai mengerjakan pekerjaan rumah.

Ia mengelus perut menatap santapan di meja makan, tampak sangat menggiurkan. Boleh kah? Menyicipinya barang seujung sendok?

Brak!

"Kamu tu kayak anak boss aja, udah baru bangun tidur jam segini. Langsung minta makan lagi."

Tuh kan?

Harris tak sampai tega. Hanya bisa memberi kode dengan bahasa tubuh seolah mengatakan, "gapapa cuci aja dulu piringnya daripada ibu negara ngamuk."

Baiklah. Apa boleh buat.

"Bu? Nanti aku pulangnya agak maleman ya. Biasalah, anak-anak suka ngajakin kumpul dadakan."

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang