Bab 24 : Penguntit

89 17 59
                                    

"Di mana?"

Sebelumnya tak berpikir tuan putri akan bangun terlalu secepat. Memegangi kepala karena terlalu memaksakan diri langsung bangkit ke posisi duduk, oleh sebab itu mau tak mau harus menanggapi pertanyaan.

Melirik, mulai merangkai kata di kepala namun yang di sebrang sana justru sudah lebih dulu panik terlihat dari perubahan raut mukanya gelagapan.

Kemudian kakinya mengitari ruangan asing di mana tak seharusnya ia berada di tempat tersebut bersama sosok laki-laki di depan, hanya mengintip melalui ekor mata.

"Kamu lagi?!" Mel menelan ludah susah payah. "Tolong bawa aku pulang," titahnya nyelekit di hati, sebab pada kenyataannya, kali ini tiada tempat yang dapat ia sebut sebagai rumah.

Tak lama suara rengeknya semakin menjadi-jadi sedikit membebankan kepala yang mendengar. Maka dari itu ia berhenti bersantai, untuk mengatakan, meyakinkan aman. "Ini tempat aman kamu."

Mel menggeleng keras, setelah apa yang telah terjadi padanya. Rasanya benar-benar sulit mempercayai laki-laki mana pun, bahkan ayahnya sendiri mampu melakukan hal di luar dugaan.

Lantas lelaki mana lagi yang harus ia percaya. Percayaan hancur pada semua lelaki, termasuk juga orang asing yang baru saja ditemuinya lagi."Jangan deket-deket! Gue benci banget! Gue benci banget semua orang, apalagi cowok!"

Leon memangku dagu mulai serius mendengar. "Hei, beritau saya. Kamu kenapa? Apa ada seseorang yang menyakitimu?" Jelas terasa tangannya bergetar begitu pun suara yang keluar dari mulutnya, sungguh Mel hanya ingin menangis di pojokkan.

"Begini, saya minta maaf kalau kesannya kurang sopan membawa ke sini dengan keadaan tak sadarkan diri. Tapi saya berani bersumpah, bahwa saya bukanlah orang jahat." Menekankan setiap kata. Belum yakin sepenuhnya Mel mundur menolak mendengar dalam keadaan begini. Ia tak ingin dipaksa mengerti.

"Tapi gue nggak mau! Bawa gue keluar sekarang!"

"Oke, ayo pulang." Perdebatan mereka berhenti sampai di situ. Mel jadi teringat sesuatu, sebuah kalimat yang pernah menenangkan perasaannya, hanya saja, kini berbeda orangnya.

"Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri, masih punya kaki." Dengan tak sopannya Mel segera berlari keluar tanpa permisi atau paling tidak, mengucapkan kata terima kasih.

~~~~

Beruntung masih ada Casey di sisinya. Perempuan yang selalu ada kapanpun ia membutuhkan pertolongan, namun sialnya saja malam itu Mel keburu kehilangan kesadaran.

Dengan begitu tak perlu izin atau bahkan absen matakuliah, berakhir terpuruk sebab terus memikirkan kejadian tak masuk akal yang belakangan menimpanya. Semuanya, mengerikan.

Mel berani taruhan. Orang-orang tidak akan mempercayai omong kosongnya. Logikanya, mana ada seorang ayah yang tega menyakiti anaknya sampai nyaris melakukan tindak pelecehan seksual. Biar kata tidak memiliki hubungan darah.

Entahlah. Pola pikir polosnya terlalu menyusahkan diri sendiri. Bila teringat lagi, rangkaian memori itu sungguh menyesakkan. Ketika berdiri di ketinggian, Mel serasa ringan hati jika perlu menjatuhkan tubuh biar berakhir mati.

Saat kelas berakhir. Mel bingung mau pulang ke mana, sedangkan jam kerjanya masih sejam lagi. Sementara kelas Casey baru saja dimulai.

Melangkah gontai bak benda mati tak bernyawa. Tatapan kosong melompong dengan setengah kesadaran tersisa, banyaknya suara dari berbagai arah pun tak membuatnya lantas kembali ke realita.

"Ngapain tuh cewek."

"Woi!" Mel tersentak pelan. Nasib baiknya tidak rubuh ke bawah. Menoleh kepalanya ke belakang.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang