Bab 4 : Kepingan memori

302 53 32
                                    

Suatu hari. Buku yang dipenuhi oleh coretan tinta warna merah bisa melapuk dan menua menyesuaikan usianya. Atau mungkin empunya tidak lagi tergoda menyentuhnya seperti dahulu kala.

Cukup berharap waktu itu tidak datang terlalu cepat. Nadi mantap nanar tulisan tangan yang kerap kali diiringi rintikan arti mata, ia pun tidak ingin terlarut dalam kepedihan tiada berujung.

Tetapi kehilangan orang-orang tercinta amat terlalu menyakitkan untuk sekedar diingat. Biar pun sepertinya bisa mencari jiwanya pada raga yang lain, namun bukankah pilihan itu kejam?

Mulai ditanamkan, semua isan ingin dicintai sebagai mana jati diri mereka sendiri, bukan sebagai mana dia, aku, kamu, atau orang lain.

Halaman terakhir ditutup rapat.
Mau tak mau harus ikhlas, semuanya sudah ditentukan oleh takdir. Akan ada dunia yang akan terus kehilangan angka manusianya.

Kini, tubuh semula begitu kokoh bisa ambruk kapanpun diinginkan. Untuk apa lagi bersembunyi? Lagipula tak ada yang memerhatikan. Pura-pura kuat di depan orang lain sudah biasa, tapi pernahkah.... berpura-pura kuat di hadapan diri sendiri?

.

. .

. . .

"Kenapa?" Matanya menyala jelas ada khawatiran.

"Aw! Sakit, jangan sentuh!"

Sungguh. Kurang apa lagi Nadi memperhatikan Lisa? Kenal setengah tahun dan selama mereka terjebak friendzone Nadi selalu memperhatikan gadis itu, kecuali satu fakta mengejutkan, luka-luka memar asing di punggung.

"Aku-"

"Jangan bohong lagi. Coba jelasin siapa yang nyakitin kamu?" Kesedihan yang ditutupi oleh helaian rambutnya tak membuat Nadi lengah.

"Aku-nggak mau. Nad, aku nggak bisa." Kulit Lisa terasa dingin sama seperti tatapan mata pria di hadapannya, penuh kekhawatiran.

Sambil bicara, Nadi menyingkirkan rambut panjang yang menutup wajahnya. "Hei," tegurnya. Seketika menghanyutkan sang gadis terlalu dalam. "Di sini dingin, gelap, sepi. Dan nggak ada siapa-siapa, bahkan kalau kita ciuman malam ini nggak bakal ada yang tau. Cuma ada kita. Jadi tolong...."

Sesungguhnya. Ia tau bahwa Nadi hanya menggoda sambil merayunya. Namun semburat merah di pipi menyala terang dalam kegelapan sulit disembunyikan. Di pinggir hutan, bahkan tiada lagi suara mesin kendaraan yang mereka naiki tadi. Hanya dikelilingi pepohonan, bunyi hewan liar, gelap, sepi, dingin. Seperti yang dikatakan tadi.

. .

.

Rajin memerhatikan, sampai sering bertanya, tidak cukup membuat Nadi berhasil mengungkap fakta tentang siapa pelaku utama yang berani menyakiti istrinya. Bolpoin merah itu tergeletak lepas dari genggaman.

Ia menaruh curiga pada boss Lisa, pemilik perusahaan yang diceritakan menaruh hati padanya. Setetes cairan bening jatuh di antara deretan kata terakhir. Merebahkan punggungnya kemudian mengayunkan kaki-kakinya. Lama-kelamaan tangisan lengangnya menggema tanpa ia sadari.

"Brengsek... Ini kah yang orang-orang takutkan ketika menikah selain permasalahan ekonomi? Gagal menjadi peranan terbaik. Seharusnya gue sadar menikah bukan asal mapan." Beralih memandang langit-langit saat badannya menyandar sempurna baru tersadar ada sesuatu yang menjanggal.

Ia mengarahkan netranya ke samping menarik rambut sambil mngerjapkan mata. Untung Nadi bukan bocah lagi yang akan mengira segala kejanggalan adalah perbuatan setan, atau sejenisnya.

Mata sayunya menajam perlahan. Menggunakan tangan dan kakinya bekerja membawa tubuhnya pergi dari kursi tua tersebut. Langkah kakinya sangat pelan hingga tidak menimbulkan bunyi pijakan sedikitpun.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang