Bab 29 : Rekam jejak

68 16 20
                                    

Menempuh perjalanan panjang netranya memandang lurus tanpa berbelok. Mengabaikan sengatan panas dari sinar mentari kian membakar kulit.

Perpaduan alam serta kesunyian berbaur bersama hembusan angin tipis yang lewat. Sesekali berhenti sekedar melirik angka di jam tangan. Memastikan bahwa tidak kepagian apalagi kesiangan.

Senyuman tulusnya mengembang sehabis membawa kebutuhan pokok sang anak. Barulah tersadar hidupnya jauh berbeda dari bulan-bulan lalu, saat mengalami keterpurukan.

Telah merasakan bagaimana pahit manis mencari nafkah untuk keluarga sendiri. Saking banyak menyendiri, muncul renungan tentang diri.

Menyorot sebuah rumah letaknya tertarik jauh dari keramaikan. Mempercepat langkah demi langkah untuk sampai. Fokusnya justru jatuh pada sosok punggung asing.

Sosok tadi berbalik perlahan-lahan, lalu memandang lurus ke arahnya cukup lama. Nadi memelankan laju jalannya menajamkan penglihatan. Penasaran, kira-kira siapa dia?

"Hai. Namamu, Nadi kan?" tanyanya santai dengan senyuman.

"Perkenalkan, nama saya Leon." Lelaki itu berniat berjabat tangan. Tetapi kakinya refleks saja mundur was-was.

"Ngapain, ke sini?" tanya Nadi nadanya jelas terdengar kurang bersahabat.

"Baiklah. Dari kedengaran sepertinya kamu sudah kenal saya." Nadi tampak tak bersemangat menanggapi obrolan. Membuat Leon mau tak mau harus mengiringi jalannya.

"Maksud kedatangan saya ke sini untuk meluruskan kesalahpahaman di antara kita." Semakin pelan jalannya. Akhirnya sudi menoleh. "Saya baru ingat kita pernah bertemu saat kecil, bukan? Melihat ibu dan ayahmu berseteru. Saya sangat menyayangkan kejadian buruk yang menimpamu."

Keduanya, adalah anak laki-laki yang harus menyaksikan secara langsung bagaimana retaknya sebuah keluarga. Terlebih karena kesalahanpahaman tak diinginkan.

"Sampai saat beranjak dewasa, kamu lebih sering menjauhkan diri dari orang yang mungkin bisa saja menyakitimu. Semua karena kamu sudah berlajar terlalu dalam dari masa lalu." Salah satunya mencoba merelakan saja, satunya lagi baru memahami.

Tetapi aneh tau pria asing ini seolah-olah mengetahui segalanya."Jadi kalau dipikir-pikir... wajar kamu membenci Ayah." Masih abu-abu isi hatinya. Seketika Nadi berhenti. "Bahkan wajar saja jika kamu membenci saya." Si pendengar muak sebab terlalu bosan mengikhlaskan. 

"Tbh. Gue nggak mau membenci siapapun. Tapi mereka sendiri yang maksa gua buat membenci diri gue sendiri." Dibandingkan harus menaruh dendam kepada orang lain. Nadi merelakan hatinya membenci dirinya sendiri dengan tujuan, suatu hari bisa berdamai.

Cukup lama anak adam itu berperang dalam batin sendiri. Sampai salah satunya berbicara. "Lucu ngomong kaya gitu seolah tau semuanya. Lo nggak akan pernah tau persis gimana rasanya," ucapnya menekankan. "Ditelantarkan sama orang yang paling lo sayang, nggak dianggap di tempat di mana lo paling ingin dianggap ada," sambungnya.

Seseorang di depannya mencoba memahami. "Kamu nggak perlu benci dirimu atas kesalahan yang tidak kamu perbuat."

Tawaan sekilas tadinya terdengar renyah namun ekspresinya jelas tengah putus asa.

"Udah gue bilang. Lo nggak pernah tau persis apa yang gue rasain. Jadi stop, komentar karena kata-kata lo nggak membangun sama sekali buat gue." Tepatnya Nadi tidak ingin panjang berbasa-basi.

"Itu semua karena lo punya apa yang udah gua nggak punya." Jelas menyinggung ayahnya yang selalu berat sebelah. Tanpa meninggalkan kata-kata mempercepat ayunan kaki. Merasa apa yang dilakukan tak ada gunanya.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang