Bab 18 : Tutur lisan

84 24 25
                                    

Bersemayam sendiri dalam ruangan dianggap asing saat ditinggal sebentar. Mel berselonjor luruskan kedua kaki merasakan kulitnya dingin.

Baru mengutuk ajakan Casey tadi pagi. Nyatanya gadis itu jadi kurang enak badan karenanya. Sekarang malah ia ditinggal berlama-lama, janji sebentarnya ternyata palsu.

Mel kini mengenakan dress kesayangan Casey yang untungnya cocok di badannya. Perutnya tiba-tiba bersuara, berkeluh-kesah pada sang empu.

Astaga, Mel bahkan melupakan kondisi perutnya membutuhkan asupan. Bola mata polosnya melebar, lalu berdiri cepat.

Padahal sudah tercium bau-bau sedap di mana-mana, bagaimana bisa ia mengabaikan perutnya keroncongan? Ah, tapi mau keluar malu.

Atau mungkin kondisi kesehatan Mel sedikit memburuk sejak pertemuan terakhir dengan Nadi. Di mana ia berlari kencang sampai masuk ke rumah hanya mengenakan bikini, langsung menjadi tontonan publik dan bahan tawaan ibu-ibu.

Entahlah.

Korslet otaknya hingga lupa harus memakai pakaian di mana. Mel mengetuk kepalanya benar-benar malu, mau taruh di mana coba mukanya?

Mana mungkin Mel pergi keluar sendirian. Bisa-bisa puas jadi bahan omongan lagi.

Gadis itu menghentakkan kakinya bingung. Inginnya menangis tapi ingat dalam sehari dia sudah membuang-buang banyak air mata, percuma.

"Mamaa, mau makann...." erangnya memeluk tembok. Sementara di luar sana bau sedap semakin menyengat ke penciuman. Semakin menyiksa.

Mel beralih memandang ke arah pintu nanar. Tengah berpikir apa kesalahannya sampai diberikan cobaan masuk ke dalam situasi menyiksa ini.

"Lapar," lirihnya. Ingin nekat keluar sebentar ia kembali berpikir masih ada Nadi bisa kacau kalau-kalau berpapasan lagi.

"Huwaa, kenapa sih," dengusnya.

Teracak rambutnya lantaran frustrasi. Lagipula setan apa yang merasukinya, sampai memiliki keberanian untuk menjamah tubuh lelaki itu, biasanya barang seujung jari ia enggan. Alhasil nyalinya hilang muncul.

Genggaman pada gagang pintu. Tersirat akan penuh harapan binar matanya mengharapkan secuil nyali muncul.

Terbuka! Kini dadanya terasa seperti ada yang menggelitik. Ya sudahlah, kata Mamanya kalau usaha jangan setengah-setengah. Maka Mel memberanikan diri keluar.

Sembari mengintip sekitar kepalanya menyembul keluar. Udara segar tercampur dengan sedap bau masakan merayu hidung begitu cepat.

Air liurnya nyaris menetes kelamaan menganga. Berlanjut kaki jenjangnya hendak mengendap-endap menundukkan badan bersembunyi di antara benda-benda besar lain yang berada di sana.

Waw. Di depan sana adalah gerbang menuju syurga dunia. Mel tidak berhenti mengagumi sekaligus terus bertanya-tanya mengapa masakan ibu-ibu tidak pernah gagal.

Meletakkan kedua tangan di atas meja. Memperhatikan sekumpulan ibu-ibu cuek berlalu-lalang melewatinya, sedikit bisa bernapas lega, mereka tidak mengingat kejadian pagi hari.

"Na-nadi?" Bugh! "Aw! Sakit!" Jidat lebar Mel kejedot bawah meja saat dia hendak bersembunyi.

Entah sudah keberapa kali kena sial hari ini. Padahal Mel sekedar menginginkan hal sesederhana makanan. Ia mengumpat pelan menahan ringisan di saat sedang berupaya mempertaruhkan harga diri.

"Semoga Kak Nadi nggak lihat," bisiknya. Mukanya bertambah semakin tegang saat ini.

"Mel, here."

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang