Bab 30 : Kering dan lapuk

74 18 28
                                    

Keberadaan Zero di sana menjadi pencair suasana. Meskipun kadang diabaikan. Ia menatap kedua bersaudara itu seolah-olah seperti mengerubuni satu perempuan yang sedang menimang anak dengan tatapan terjaga. "Dah lah, lama-lama gue pengen jadi cewek juga dah."

"Ciee sodara baru. Woi minimal ngobrol kek tegang amat muke lu berdua," tagurnya pada Nadi dan Leon.

Mel yang sadar diperhatikan dalam keduanya. Sedikit merasa kurang nyaman belum lagi harus menahan diri agar tidak menunjukkan kelemahannya. Lantas berdiri untuk berpindah tempat duduk, mencoba menepikan perih di sekitar punggung.

Terakhir Mel memeriksanya, meninggalkan banyak bercak merah. Mau tak mau Mel mengenakan baju serba tertutup, khusus hari ini demi menutupi jejak.

"S-sakit...," ringisnya sangat pelan. Memejamkan kedua mata.

"Kamu nggak papa?"

"Mel, lo nggak papa?"

Fokus anak adam itu pada luka memar di dekat mata kaki. "Anjirlah, mending gue peluk tembok dah ah." Zero semakin iri pada Mel sekarang.

"Nggak papa kok, cuma jatuh tadi makanya memar," balas Mel sangat cepat. Ekspresi wajahnya seperti menahan rasa sakit. Memeluk tubuh sendiri yang dibalut sweater tebal.

"Aneh. Lo ke sini naik gojek kan?"

"Iya! Kalau mau ke sini kan jalan kaki. Aku jatuh di jalan menuju rumah kamu, licin," katanya lagi jelas terlihat gugup.

"Ck, itu bukan luka baru, Mel." Leon angkat bicara lantang. "Jadi tolong kalau ada yang ingin kamu ceritakan jangan sungkan ya." Nadi menatap keduanya heran. Jadi mereka saling mengenal? Ia berdiri di tengah-tengah, antara Mel dan Leon.

"Boleh gue ngomong sama lo dulu? Berdua." Mel tampak kebingungan sendiri. Kepalanya menunduk cukup lama.

"Mau istirahat dulu, gue masih capek, Nad." Tau alasannya mungkin kedengaran ambigu tapi mau bagaimana pun juga, akan lebih berbahaya jika bicara dengan Nadi dan semuanya akan terbongkar karena Mel kesulitan berbohong padanya.

"Alasan," gumam Nadi terlihat kesal.

"Udah, kita nggak bisa maksakan Mel bicara sekarang," ucap Leon menengahi.

Mel berbalik badan menghindari ingin menangis saja rasanya. Dering ponselnya berbunyi semakin memacu jantungnya lebih cepat karena tau akan menarik perhatian banyak orang.

"A-aku pergi dulu." Meninggalkan rumah tengah. Mel menggengam ponselnya erat menahan emosi dan tangisan.

Sambungan telepon diterima, Mel mendekatkan ponsel ke telinga secara perlahan sengaja tidak merespon lebih dulu.

Bersama hembusan napas berat memaksa diri mendengarkan apa yang akan dikatakan orang di sebrang sana. "Kamu... berani berbohong bilang akan pulang secepatnya... Di mana kamu sekarang! Jawab! Atau hidupmu menderita, kamu nggak akan selamat, seperti Lisa-"

Refleks membungkam mulut kuat-kuat. Ponselnya pun terjatuh ke lantai. Badannya mendadak lemas semua, ingat sebelum pergi Ginanjar sempat menyiksanya lagi dan berkali-kali memperingatkan untuk tidak pergi ke mana-mana.

Ia membutuhkan pertolongan. Di sisi lain bingung bagaimana cara menyampaikan. Kakinya menekuk. Entah perasaan saja, tetapi perlakuan kasarnya melebihi bengis terhadap, Mel ketimbang Lisa dulu.

Melirik bayi di gendongannya bagai mengadu, isakan tangis samar terdengar. "Aku mau ngadu sama siapa lagi, Awan." Mulai sekarang Mel menganggil gadis kecil itu berbeda dari yang lain. Bibirnya bergetar hebat disusul napas sesak menyerang.

Selanjutnya, bunyi telpon berdering masuk berulang kali dari entah siapa. Mel meraung pelan, enggan melirik layar ponselnya sedikitpun.

~~~~

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang