Bab 32 : Terpaksa lalu terbiasa.

96 14 20
                                    

Rebahan adalah kegiatan yang paling ditunggu-tunggu setelah mengerjakan pekerjaan rumah yang luar biasa tiada habisnya. Biarpun di rumah ini tersedia peran ART dan babysitter tapi Mel bersedia sekalian membantu Bi Zea.

Langsung merebahkan badannya saat melihat kasur miliknya. Akhirnya bisa rebah dengan tenang terlentang di atasnya. Apapun kegiatannya jangan lupa menangis, entah mengapa akhir-akhir ini Mel jadi suka tiba-tiba nangis sendiri.

Bagaikan hidup sebatang kara ia di dunia. Meskipun satu-satunya menjadi penanda bahwa dirinya masih berkeluarga salah satunya adalah orang tuanya yang masih membiayai kuliah.

Sendiri itu tenang dan damai, selebihnya kesepian. Apa begini yang dirasakan Nadi selama jauh dari orang tua? Lewat tiga hari setelah kebersamaan terakhir Mel dan Nadi saat turunnya hujan.

Mel menekuk lutut menghadap lurus ke depan. Memuaskan diri menangis sejadi-jadinya sembari merenungi nasib. Jadi, sebegini menyedihkan kah hidupnya?

Beberapa menit lalu Leon mengatakan akan melaporkan ayah ke polisi. Di sisi lain Mel malu dan ibunya sudah pasti akan semakin membenci dirinya jika berani melapor.

Ibunya jelas masih mencintai suaminya. Wajah wanita itu kerap kali menunjukkan raut dilema antara memihak ke putrinya atau sang suami, Mel baru tersadar alasan mengapa Marwa membenci Lisa.

Semua karena Marwa cemburu suami barunya yang setengah waras itu lebih perhatian pada anak perempuannya. Mel menjambak rambut pusing memikirkan segala kemungkinan.

-------

~Mamaa sayangg~

Jangan cerita sama siapa-siapa, jangan lapor polisi. Kamu tau kan kalau itu aib?

Kalau masih punya malu, diam.

-------

Ada guratan kecewa, marah, sedih, bingung, menyatu satu waktu diakhiri hembusan napas pasrah. Mau mengeluh ataupun mengadu tentang rasa sakitnya, entah kepada siapa.

"Keluarga sakit...," gumamnya lirih. Beralih memandang nanar barang-barang yang berada di sekitarnya, lalu menghancurkan semuanya diiringi kilatan kian berapi-api.

"Tuhan, kenapa Mel harus lahir kalau nggak pernah bisa hidup tenang... Mama aja nggak berpihak ke anaknya, terus aku harus ngadu ke siapa lagi!" jeritnya tak kuasa lagi, lelah menghadapi manusia yang hatinya luar biasa egois.

"Lo harus kuat, Mel... sekarang udah nggak ada, Dek Lisa. Harus lebih kuat-kuat lagi karena lo cuman sendiri," ucapnya mengelus dadanya berkali-kali.

"Udah nggak papa, nggak boleh jadi cewek lemah." Ia bangkit dari duduknya demi memikirkan rencana memulai kehidupan yang jauh lebih baik. Sekarang apa?

Mempersiapkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Semoga temannya tidak menyadari bahwa dirinya habis menangis. Tidak boleh, jangan sampai.

"Halo, Jess. Hum, jadi Nadi... tiba-tiba ngajak gue nikah masa."

"Apa?! Nadi ngajak lo nikah? Gila ya mentang-mentang udah berpengalaman kagak mikir panjang lebar si bambang. Wah, bahaya nih cowok, diem-diem ternyata hyper juga." Tapi belum apa-apa Mel dibuat melongo. Sahabatnya yang satu itu memang beda.

"Kok lo ngatain Nadi hyper?! Lagian dia itu cuma ngajak nikah sayangg nggak langsung ngajak buat anak gila lo? Lo juga aneh banget giliran si doi nggak peka lo jodohin terus gue sama Nadi sampe mau mampus, sekarang giliran dia peka malah lo bully dia!" pekik Mel mulai kesal rasanya. Tak lama timbul kikikan kentara mengejek.

"Yeee iye iye belaa aja terus, lagian gua ini kagak bully anjir. Cuman... Ya lo tau lah, ditinggal kawin sama bestai itu enggak enak tau nggak? Atau mending lo tinggal di sini aja aman mah mau lo ngewek sambil pacaran juga santuy-"

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang