Bab 1 : Dua belas tahun kemudian

1.4K 99 59
                                    

Cuaca baik menyambut selama perjalanan pulang ke kota kelahiran. Tidak terlalu cerah juga tidak terlalu mendung sebab angin menyingkirkan langit kelabu.

Tetapi bukan lagi seperti terakhir kali berkunjung di mana hatinya dipenuhi oleh energi-energi positif yang membahagiakan atas bayang-bayang kebersamaan utuh keluarga.

Gadis yang rupanya mengaku lebih cengeng dari adiknya itu membutuhkan kehadiran saudarinya. Saat pertemuan terakhir dan perpisahan terakhir di hadapan batu nisan terukir namanya.

Tepat pada saat supir suruhan ayah menjemput. Ia langsung diselimuti kabut duka yang warnanya lebih pekat dari yang seharusnya. Pulang ke kota kelahiran, tidak lagi menjadi ajang pencarian oleh-oleh atau pemulihan mental.

Justru mentalnya semakin dibombardir sebelum sungguh tiba. Begitu sampai di depan satu-satunya akses jalan menuju rumah. Ia sengaja membuka kaca film mobil di sampingnya untuk sedikit bernostalgia kemudian menghirup udara segar.

"Bentar lagi nyampe, Non," kata Pak Supir baru menegur. Mengerti majikannya masih dalam suasana berkabung, itulah sebabnya ia memilih menghargai.

"Makasi ya, Pak," ujar Mel sebelum masuk, sebab Pak Supir juga membatu Mel membawa kopernya masuk.

Gerbang dibukakan. Rumah memang tampak sangat sepi dari depan namun rupanya ayah dan ibu telah menunggu santai di ruang tamu. Mereka tidak melancarkan obrolan sama sekali.

Tidak seperti biasanya, ayahnya menyunggingkan senyuman lebar. Lalu menyiapkan tempat duduk untuknya, mungkin karena masih dalam suasana berkabung semua harus tampil sempurna.

"Makasih, ayah."

Berbanding terbalik dengan sang ayah. Ibunya justru semakin membuang muka semenjak Mel datang. Di dalam hati kecilnya, sebenarnya ingin sekali ditegur duluan.

Tapi Mel mengunci rapat-rapat bibirnya. Bukan karena gengsi atau hal kecil sejenisnya, ia sedikit merasa canggung dan takut diabaikan begitu membuka suara.

"M-ma?" Wanita itu menoleh sebentar saja, lalu kembali berpaling.

Tak lama kemudian merasa seperti dejavu. Mengingat bagaimana perlakuan terakhir ibunya tiap berhadapan dengan sang adik.

Benar saja. Mirip seperti perlakukannya terhadap Lisa. Sementara selama ini Mel tidak pernah mendapatkan perlakuan tak mengenakan.

"Mama lagi nggak enak badan," sela Ginanjar, selaku ayah Mel yang tengah menggenggam ponsel.

"Oh iya? Hm ya udah, aku nggak akan berisik lagi," balas Mel tersenyum senang. Akhirnya ayahnya memperlakukan Mel seperti Lisa.

Di mana dulu, seakan-akan keadaannya kini berbanding terbalik. Ibu menyayangi Mel dan membenci Lisa, sementara ayah membenci Mel dan menyayangi Lisa.

Mel dibuat kebingungan bagaimana harus bersikap di tengah-tengah keluarga yang tak suka basa-basi, terlalu sering miskomunikasi. Itu salah satu penyebabnya dirinya memilih pergi sampai berniat tak kembali.

Tapi bayang-bayang akan Lisa menunggu pulang terus menghantui, meskipun pada dasarnya gadis itu telah tiada. Baru memberanikan diri untuk pulang mengapa keadaan canggung begini justru ia dapatkan?

Bahkan ibunya bersikap aneh seperti yang tak seharusnya.
"Kenapa kamu masih pakai baju itu? Cepat ganti," titah Ginanjar lantang.

Mel yang tidak mengerti lantas langsung memperhatikan bajunya, apakah ada yang salah dari penampilannya? Ia rasa tidak selain memang kelihatan seperti baju rumahan biasa dan terkesan murah.

"Ada yang salah?" Marwa memutar bola matanya seakan-akan mengerti maksud Ginanjar.

Memandang heran ayah dan ibunya satu-persatu. "Oh, kita ke makam adek, Yah? Aku harus pake baju apa, Ma?" Mel berusaha berpikir positif selagi bisa.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang