Bab 16 : Sedu-sedan

77 24 30
                                    

Ketiga bersaudara itu harus bangun pagi, biasanya hanya melaksanakan rutinitas hari-hari. Namun ada yang berbeda hari ini. Bintang, Nadi, dan Zero mereka dihimbau datang bersama.

Sejak lama Nadi bosan mendengarkan ocehan Zero yang ingin segera pulang karena belum sempat mandi pagi. Malu datang ke rumah orang, apalagi ke rumah cewek yang ditaksir hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos akibat terlalu terburu-buru.

Bintang melirik kedua saudaranya sedang saling berbisik-bisik, ah tepatnya. Zero berbisik tepat di telinga Nadi yang sibuk membakar tembakau ke sekian.

"Lucu deh gue perhatiin lo berdua."

"Lucu ndas kau," balas Zero gemas. Ingin melorotkan celana anak mama itu saking gemasnya, seperti yang sudah-sudah maka dia akan menangis layaknya bayi.

Bintang malah tertawa tanpa suara. "Nadi gue lihat-lihat kek banyak pikiran amat."

"Halah, anak esma mah mana tau," cibir Zero lalu menjulurkan lidah. Sejak tadi sebenarnya Bintang ingin mendengar suara Nadi, tau kalau kakaknya itu punya dendam pribadi padanya sekarang.

"Udah lulus, ntar lagi nikah."

"Jiakahahaha lo kira nikah enak? Nikahnya si enak, biaya hidupnya yang susah, yhaaa!" Ia sampai mendorong-dorong badan Nadi ketika mengeluarkan jenaka.

"Iya, nggak brother?" Zero masih meminta persetujuan dari saudaranya. Meskipun tau tak akan digubris.

"Idih, ngomong dong lo berdua. Mau lihat lagi marahan ya?" Refleks Nadi menoleh tak disangka Zero bisa membaca pikirannya.

"Nggak," jawabanya singkat. Bintang menertawakan balasannya, jelas apa maksudnya.

"E-eh, nggak apa dulu?" Zero jadi panik sendiri begitu Nadi berdiri hendak pergi meninggalkan ruang tengah. Ya pasalnya, Zero tidak ingin terlihat seperti bocah hilang yang tau-tau berkeluyuran di sana. Bintang itu tidak bisa diandalkan, sedangkan teman ngobrolnya hanya Nadi selama ini.

"Nad! Woi, Nadi!" Kepalanya terputar terlalu jauh untuk melihat Nadi berlalu. "Woi, Nadilan, Milea! Anaknya Pak Jordan!"

"Yoana Bin Jordan!"

Bintang kaget sendiri mendengar Zero bisa secara blak-blakan menyebut nama orang tua Nadi yang padahal juga hadir di antara mereka.

"Woi gila, ada bapaknya di sini!" tegur Bintang berbisik. Zero langsung melotot mendekat ke arah saudaranya.

"Bener ah, bro?"

"Kaga! Yhahahaha!"

"Ye anjing serahh. PAK JORDAN! HALO PAK JORDAN-HMP." Akibat keisengannya, Bintang kalang kabut membungkam mulut Zero sampai dia kesulitan bernapas.

"Anj-"

"Ada apa ya manggil-manggil nama saya?"

~~~~

Ada keluhan-keluhan yang tak didengar atau bahkan tak mudah untuk disampaikan lisan. Manusia serba bisa namun jikalau mengenai masa depan hanya bisa berencana sekedar meraba-raba.

Bersorak lantang kepada dinding-dinding ketidaknyamanannya serta ketidakpercayaan, mohon berhenti menyertai di sepanjang jalan.

Kepada langit berawan, setia membawa kedamaian. Kepada badai hujan, hendaknya jangan sudahi keinginan sebab masih ingin berjuang.

Di dalam ruang kedap dan berkabut tebal. Diiringi merdu ringikihan kesakitan, atau ringisan sisa-sisa buliran air mata. Ada satu persinggahan yang berani berperan penting, hingga ujung waktu.

Rumah tak selalu berupa tempat tinggal, tapi yang disebut rumah harus bisa menjadi tempat teraman juga ternyaman.

Bagaimana jika...rumah itu bahkan lebih dulu menua tapi bukan disebabkan oleh bertambah usianya tapi justru manusianya sendiri memilih tua sebelum waktunya.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang