Bab 21 : Duo kepala batu

178 19 24
                                    

Mungkin perkataan Casey ada benarnya. Tentang Mel harus menjauhi Nadi, tapi bagaimana pun juga posisi gadis itu bekerja di rumah ini.

Untuk sekarang masih bisa bernapas lega, karena sang penghuni jarang di rumah. Apalagi saat shift jam kerjanya, apakah mungkin Nadi berniat menjauhinya juga?

Ah seharusnya Mel memikirkan hal itu lebih awal. Bukannya rasanya Mel terlalu tidak tau diri bila ternyata benar-benar menyimpan perasaan lebih terhadap Nadi?

Mau bagaimana pun juga tidak etis rasanya, meskipun kematian adiknya baru beberapa bulan berlalu
sebelum kejadian tersebut menimpa. Masih sangat sulit diterima akal sehat. Fokusnya buyar.

"Wajar Mas Nadi ngira begitu. Maaf ya Non, tapi selain wajah Non. Ada pemicu lain. Potongan rambut kamu yang sekarang sangat mirip dengan potongannya rambut Non, Lisa terakhir Bibi lihat."

Helaan napasnya berhambur sembarang. Sampai detik ini  belum bisa menceritakan apa yang terjadi secara detail bahkan kepada Bi Zea sekalipun.

Ia hanya bercerita dirinya dianggap seperti Lisa tanpa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Rasanya tak enak hati bila menceritakan aib sendiri.

"Apa aku harus panjangin rambut lagi ya, Bi?" rengeknya masih berusaha menahan sesegukan di depan Bi Zea.

"Loh, kok Non Nangis?! Kamu nggak diapa-apain Mas Nadi kan? Ya Allah...."

"E-nggak kok."

"Bibi takut Non diapa-apain, soalnya semenjak kepergian Non Lisa, Mas Nadi agak bersikap sedikit lebih keras dari biasanya." Mel berdiri dari duduknya. Nyaris lupa ada kelas pagi karena memikirkan kejadian tadi pagi.

"Yaudah lah Bi, kayaknya aku nggak bisa bawa ini," putusnya.

"Loh Non? Nggak papa Non bawa aja."Alhasil terjadi tarik-menarik di antara mereka.

"Enggak, aku nggak bisa. Maaf ya Bi."

"Tapi sayang Non, kalau dibakar Mas Nadi gimana?" Kepala Mel mulai mau pecah. Mana jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua belas menit dan dia belum ada persiapan ke kampus.

"Kalau gitu Mel titip dulu sama Bibi ya."

~~~~

"Pokoknya lu cari tau tentang dia."

"Gampang. Dia mah seangkatan ama gue." Dibalas kekehan, percaya diri si penerima.

"Yeee, ya udah yang bener kerjanya! Ntar gue kasih tau ciri-cirinya. Lo udah lihat langsung kan?" Asdar terlalu ambis kalau sudah urusan duit.

Ya tepatnya dia mata duitan juga. Apalagi setelah boss besar menjanjikan iming-iming dengan jumlah besar.

. .

. . .

"Loh, memang berapa sisanya?"

"Dua puluh juta, Pak Boss!"

"Banyak itu. Pokoknya ya jangan lepas, anak itu sekarang jadi tanggungjawab kalian. Kalau beres semua, ada bonusnya gede."

. .

.

Ya walaupun sebenarnya boss mereka bukannya perhitungan sangat, hanya saja. Asdar itu dasarnya mata duitan!

Timbul kerutan di kening memahami. "Ei wait. Maksud lo? Ya, iya sih gue cuma lihat dia sekilas-sekilas doang sih. Tapi gue inget rambutnya tuh panjang, cantik, putih, mulus, ramping. "

"Ah! Udahlah, lo malah ngedeskripsin fisik dia lagi. Pokoknya lo jalanin aja misi lo, oke?" Banyak maunya memang.

"Ya gimana, kalau itu mah gue juga udah tau. Udah ya gue tutup dulu, ada kelas pagi." Sekarang dia sudah seperti babu menjalankan perintah.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang