Sungguh Marley masih terpikirkan, bagaimana semua kejadian datang begitu saja, dari perjodohan konyol sampai hal tadi di warung Bu Eros.
Marley sungguhan tak bisa menoleransi semua, bagaimana bisa mereka berhubungan dengan sesama, atas dasar apa, Marley tidak menahu soal itu.
Kini Marley sudah berada di rumah, perjalanan pulang terasa sangat lama baginya, sebab dalam perjalanan pikiran Marley berkelana ke mana-mana.
"Kok baru pulang? Kamu habis dari mana, Dek?" Tanya Erika yang berpapasan dengannya di ruang tamu.
"Tadi mampir sebentar," Jelasnya, oleh Erika diangguki.
"Kamu sudah makan?" Tanya Sang Mama.
"Udah." Jawabnya, lantas Marley kembali berucap. "Marley istirahat dulu ya, Ma." Pamitnya, sekali lagi Erika mengangguk.
Marley tutup pintu kamar yang sempat dirinya buka, kini tubuhnya sudah berada di dalam kamar miliknya. Tanpa membasuh diri terlebih dahulu Marley telah merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya.
Langit-langit kamar menjadi perhatiannya sekarang, pikirannya masih berada di warung yang sempat ia datangi tadi. Lantas Marley putuskan untuk mandi dahulu, sebab badannya terasa gatal oleh keringatnya.
10 menit terlewat, kini Marley sudah keluar dengan pakaian yang lebih nyaman pun tubuhnya yang sudah kembali segar. Marley gosokkan rambutnya yang basah menggunakan handuk.
Tubuhnya ia dudukkan di sisi kasur, sembari tunggu rambutnya mengering Marley tengah pikirkan rencana apa yang ia akan lakukan setelah ini. Sungguh, dirinya tengah merasa bosan.
Hingga Marley putuskan untuk berkunjung ke rumah Hendra yang berada tak jauh dari kediamannya.
Setelah rambutnya sedikit mengering, Marley ambil kunci motor yang sebelumnya ia letakkan di atas meja.
Pintu kamar ia buka dan kembali menutupnya setelah tubuhnya berada di luar, Marley berpapasan kembali dengan Mamanya, sedangkan Jaden belum kunjung pulang dari pekerjaan.
"Mau ke mana?" Tanya Erika kala pandang tubuh Marley dari bawah kaki sampai atas kepala, terlihat sangat rapi.
"Mau main." Jawabnya, Erika tak bertanya lebih hanya berikan anggukan kepada putranya itu.
"Hati-hati." Marley mengangguk, setelahnya pemuda itu keluar rumah untuk kembali mengendarai sepeda motor hitamnya itu.
Satu belokan lagi ia akan segera sampai di rumah Hendra, sebelumnya Marley sudah memberitahu pada temannya jika dirinya ingin berkunjung dan Hendra pun mengizinkannya.
Namun saat akan berbelok Marley dikejutkan dengan sosok gadis yang tengah menunggu di depan sebuah kedai yang baru dibuka, lantas tanpa pikir panjang Marley menghampirinya.
"Lagi ngapain?" Tanya Marley saat sudah berada di depan gadis tersebut.
Anindya terkesiap sebentar, "Oh .. hai!" Sapaannya, "Lagi nunggu jemputan nih." Jawabnya, dan Anindya kembali berkata. "Lo mau ke mana?"
"Mau ke rumah Hendra." Jawab Marley dan Anindya mengangguk mengerti.
"Mau bareng?" Tawarnya.
Anindya menggeleng, "Enggak usah!"
"Bareng aja, Nin. Ayo."
Lantas Anindya tidak bisa menolak, sebenarnya ia sudah berdiri lumayan lama di sini, dan Anindya pun sudah mengirim pesan pada Topan jika dia ingin dijemput. Jawaban Topan pun membuat Anin taruh banyak harap pada pemuda tersebut, bahwa Topan akan segera menjemputnya.
Namun sudah 15 menit terlewat tak kunjung terlihat batang hidung milik pemuda yang Anindya taruh rasa suka.
"Tapi gue laper, temenin makan, ya?" Anindya tahu bahwa itu hanya akal-akalan Marley saja, dan ia pun mengangguk menyetujui.
Mendapatkan anggukan membuat Marley dengan segera memarkirkan motornya di sebelah kendaraan yang lain, lantas keduanya pun memasuki kedai tersebut, langkah Marley penuh bahagia.
"Mau makan apa?" Anindya menggeleng, "Gue udah makan tadi." Tolaknya halus, dan Marley tidak masalah dengan hal itu, yang penting dia bisa berduaan dengan Anindya.
"Gue pesan dulu, ya!" Dengan segera Marley bangkit dari tempat duduknya, pemuda itu hampiri kasir guna memesan makanan untuk ia santap dengan air putih dalam botol.
Sembari tunggu Marley yang tengah memesan, Anindya sibukkan diri pada ponselnya yang sedang berdering. Topan, menelponnya.
Tak sempat mengangkat telepon itu, Topan mengiriminya sebuah pesan dan bertanya dirinya di mana, dan memberitahu jika pemuda tersebut sudah berada di depan kedai.
Dan Anindya pun segera menatap ke arah luar, dan benar saja, sosok yang sedari tadi Anin tunggu tengah mencari raganya ke sana ke mari. Sebab ia sebelumnya berkata jika dia menunggu di depan kedai.
Marley pun telah kembali bersama nampan berisi pesanannya, kini Anindya tengah rasakan bimbang.
Apa ia akan memilih Topan dan meninggalkan Marley di sini, atau Anin membiarkan Topan di depan dan memilih untuk menemani pemuda di hadapannya ini?
Sungguh, Anindya sangat bingung.
"Kenapa, Nin?" Tanya Marley di sela makannya, gadis di depannya ini sangat terlihat jelas jika Anindya tengah gelisah.
Ditanya seperti itu semakin membuat Anindya merasa resah, apalagi pesan dari Topan terus berdatangan. Sebenernya ia ingin pulang bersama Topan, Anin berspekulasi bahwa ini sebuah kesempatan. Namun, dirinya merasa tak enak dengan Marley.
Handphone milik Anindya kembali berdering, sedikit mengusik pemuda tersebut. "Angkat aja."
Lantas Anindya mengangkat telepon tersebut, sampai suara itu terdengar jelas di telinga Marley. "Lo di mana, Nin? Gue udah di depan tempat lo minta jemput."
Marley tak menampik jika ia merasa sakit hati, mau bagaimana pun Marley berusaha ia akan tetap kalah dengan pemuda yang disukai oleh gadis tersebut.
"Balik aja, udah ditunggu Topan, 'kan?" Ujar Marley sembari tahan gemuruh kesal dan cemburu.
"Gak apa-apa?" Benar saja, Anindya tidak berkilah, sekadar bertanya perihal dirinya pun sama sekali tak gadis itu ujarkan.
Mereka tahu, dan paham akan hal itu. Jika keduanya tidak mau menyayangkan kesempatan, namun Marley yang selalu mengalah.
Lantas Marley berikan sebuah anggukan jika ia merasa tidak apa-apa, segini mah Marley masih bisa sanggupi. Sontak Anindya bangun dari duduknya, "Maaf ya, Mar." Setelahnya gadis itu terburu-buru ke luar, takutnya Topan menunggu terlalu lama.
Marley hembuskan napas kasar, walau sudah dibuat sakit beberapa kali namun Marley tak pernah goyah.
Anindya pun sudah pergi di boncengan Topan, Marley jadi teringat waktu itu, saat ia memboncengi Anindya sepulang kerja kelompok bersama teman yang meminta Marley untuk menjemputnya.
Ah, Marley ingin merasakan itu lagi. Namun ternyata terasa susah untuk kembali merasakan, ya?
Tak mau terlalu berlarut dalam sedihnya, Marley pun mengirimkan pesan pada Hendra bahwa dirinya mengurungkan niat untuk berkunjung.
Dan Hendra pun tak mempermasalahkan hal itu.
Marley fokuskan memakan makanan di depannya ini, walaupun terasa sangat berbeda dengan rasa sebelumnya Marley tetap paksa nasi itu masuk ke dalam mulutnya. Bahkan kini nafsu makannya hilang begitu saja.
Hidupnya seperti dipermainkan dunia, Marley terkekeh setelahnya, ia mengasihani dirinya sendiri. Sampai mana hidupnya menjadi lelucon dunia?
![](https://img.wattpad.com/cover/326902270-288-k550231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny [ MARKHYUCK ]
FanfictionBukan hanya sekadar perihal perjodohan saja, namun juga tentang bagaimana bahwa dirinya dijatuhkan ke dalam lingkungan yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Garis takdir yang bahkan beberapa orang tidak menginginkannya, semua orang...