39. Ungkapan Sebuah Rasa

1.8K 131 33
                                    

Ruangan yang diisi tujuh orang itu mendadak hening, lontaran kalimat tolakan Hadsa membuat semuanya tak mampu berbicara. Terkesan seperti tidak menyangka, apalagi Derza yang terkejut dengan ucapan Hadsa.

Kecuali Marley yang kepalanya sudah diangkat dan maniknya bertemu dengan kedua bola mata bulat milik Hadsa, lantas ia sisipkan senyum di wajahnya. Jika saja diperbolehkan, Marley ingin menangis dan berterima kasih kepada sosok tersebut yang kini memberinya kesempatan untuk memperbaiki.

Namun, senyuman Marley dan tatapan yang sebelumnya terkunci dengan Hadsa lepas begitu saja setelah mendengar ucapan dari kepala keluarga Artama.

"Gak." timpal Derza dengan tegas.

Derza kembali berbicara, "Ayah gak mau, Bang. Semuanya salah Ayah, Ayah gak mau semuanya ke ulang lagi." Rasa sesal Derza begitu mencekam ruangan. Namun, kepala keluarga Artama itu menakuti banyak hal.

Hadsa menunduk, enggan untuk membalas tatapan sang Ayah yang diberikan untuknya itu. Selina yang berada di sampingnya pun memberikan sebuah usapan agar dirinya merasa tenang.

Tanpa diketahui jika putra tunggal Wilangga sudah duduk bersimpuh di atas kaki sang mertua, meminta permohonan agar memberikannya kesempatan. "Saya mohon."

"Adek!" tegur Jaden yang sedari awal tidak banyak bicara itu. Namun, Marley enggan untuk beranjak sebelum membawa Hadsa kembali dengannya.

"Tante, tolong." mohon Marley kepada sang Ibunda Hadsa.

Adira sedikit terusik, namun ia tetap pada pendiriannya. Lalu berbicara pelan. "Maaf, saya tetap akan menceraikan kalian." Yang sontak membuat Hadsa membelalakkan kedua matanya.

"Bunda!" ujar Hadsa dengan nada suaranya yang sedikit meninggi. Kepalanya sudah terangkat, Hadsa menatap pada sang Ibunda.

Semua orang tidak tahu saja, jika seberapa kecewanya yang dirasakan Adira sekarang. "Bunda ..." lirih Hadsa.

Ada hening sesaat, semuanya terjebak dalam ruangan yang begitu tegang itu. Namun, dari pihak utamanya yakni Hadsa dan Marley, merasa semua ini sungguh begitu lucu.

Keadaan begitu mudah membalikkan, yang dari awal menolak perjodohan dengan berupaya keras. Kini, memohon sembari bersimpuh jika keduanya tidak mau dipisahkan.

Sungguh begitu lucu. Bahkan Marley masih memohon yang suaranya tidak didengarkan oleh kedua orang tua dari Hadsa. Sedangkan orang tua Marley hanya terdiam, semua keputusan berpihak pada Derza dan Adira. Mereka tidak bisa berbuat banyak, walaupun rasa kecewa pada sang anak begitu besar.

"Bangun." titah Derza.

Marley menolak, dan mendapati satu helaan nafas dari Derza. "Bangun, sini duduk sama saya. Kita ngobrol." Marley mendongak dan melihat senyuman tipis yang terpatri di wajah Derza.

Kini Marley sudah duduk berdampingan dengan kepala keluarga Artama. "Saya enggak tahu ada apa dengan kalian berdua, dulu pas awal-awal kamu dan anak saya sama-sama menolak. Kenapa sekarang malah berbeda?"

Jika bukan perihal perasaan, apalagi yang mampu membuat keduanya memilih untuk tetap bertahan?

"Marley, jawab jujur, dan saya akan mempertimbangkannya."

Marley diselimuti gugup, namun sebisa mungkin menjawab dengan tenang. "Saya rasa, saya sudah sayang sama Hadsa."

"Oh iya? Ingat gak perbuatan kamu sama Hadsa waktu lalu? Walau kita berdua sama-sama saling berbuat salah, tapi apa bisa perkataan kamu dapat saya percaya?"

Pemuda itu menarik nafas sebentar lalu menghembuskan dengan pelan. "Om aja mau menebus kesalahan, begitu juga dengan saya."

"Saya paham kalau perkataan saya tidak mudah untuk dipercaya, tapi saya sungguhan takut untuk kehilangan Hadsa. Jadi, saya mohon untuk bantu saya memenuhi semuanya, termasuk melindungi dan menyayangi Hadsa." ujar Marley bersungguh-sungguh.

Destiny [ MARKHYUCK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang