Hari berlalu dengan begitu cepat, jalanan di sekitar sudah basah tertimpa hujan tadi malam. Pagi ini jauh lebih cerah dibanding hari lalu, namun keadaan Hadsa, raganya masih tertinggal.
Sudah 3 hari terlewat, kejadian lalu masih melekat di dalam benak Hadsa yang seringkali menjadi bunga tidur. Bahkan saat ingin menutup mata, perasaan cemas itu kian meningkat.
Di tiap detik pun Hadsa kerap merasa was-was, bernafas pun terasa begitu susah, dan inilah alasan Marley tidak ingin untuk meninggalkan Hadsa barang sejenak pun.
Selama itu Marley selalu bersama menemani raga yang terkadang gemetar, dan berulangkali berucap tolong, serta takut. Melihat keadaannya membuat seberapa inginnya membunuh Adrian yang kini tidak tahu keberadaannya, sebab dipertemuan yang dijanjikan sebagai persidangan, Adrian dibawa kabur oleh orang tuanya, lagi.
Kini, kaki Marley menapak di lantai kamar hendak melangkah keluar untuk mengambil makanan yang telah dipesan melalui ponsel. Namun saat akan menggapai kenop pintu seruan dari arah belakang membuat Marley mengurungkan niatnya.
Hadsa susah sekali ditinggalkan, dan Marley pun tak berniat untuk meninggalkan.
Tubuhnya berbalik arah dan menemukan Hadsa yang tengah memeluk raganya sendiri di dalam selimut, Marley sungguh ingin menghabisi Adrian sekarang juga. Walau balasannya adalah sel atau bahkan dihukum mati, Marley tidak peduli. Asal Hadsa merasa baik seperti awal.
Marley masuk ke dalam selimut, lengan kanannya melingkari leher milik Hadsa, dan kepala Hadsa kini sudah berada di antara tangannya.
Sementara lengan sebelah kiri digunakan untuk mengirim sebuah pesan kepada seseorang yang mengantar makanannya, dan memberitahu agar diletakkan di depan saja.
Kini, fokusnya kembali ke arah Hadsa yang sudah sedikit tenang, ponsel tersebut ia taruh di samping. Lalu membawa jemarinya mengusap pelipis Hadsa, sesekali memainkan anak rambut yang menjuntai.
Kening Hadsa pun rambutnya terasa sekali basahnya, Marley tetap fokus menyisir rambut yang mulai sedikit memanjang. "Aku gak bakal ke mana-mana." kata Marley sedikit menenangkan pemuda yang kini mengeratkan tubuhnya dan semakin memasuki ke dalam raga Marley.
Ada isak tangis yang tenggelam, sontak membuat Marley panik. Buru-buru ia mengangkat kepala Hadsa dengan pelan guna melihat kedua mata suaminya, namun Hadsa menolak. "Hadsa? Sa?" panggilan Marley dihiraukan.
Jika seperti ini, Marley jelas harus memulai bersandiwara, berpura-pura sebagai sosok yang masih Hadsa inginkan kehadirannya. "Hadsa tenang, kamu sudah aman, aku di sini, Sa. Jenggala kamu di sini."
Kian kali mengatasnamakan diri sebagai mantan kekasih Hadsa, Marley sungguh merasakan sesak tiada henti. Setelah menyadari perasaan yang entah sejak kapan telah bertengger di dalam hati, Marley selalu ingin melindungi Hadsa walau harus berpura-pura sebagai Jenggala.
Marley, rela. Asal Hadsa bisa kembali merasa baik-baik saja, Marley sungguh merelakan.
Namun, kali ini justru berbeda. Setelah berkata demikian, yang tadinya tubuh saling mendekap sekarang membuat jarak. Tatapan mata Hadsa untuk pertama kalinya setelah kejadian itu menatap balik ke arah bola mata miliknya.
"Mar." Dan untuk pertama kalinya juga, Hadsa kembali memanggil namanya.
Marley tidak tahu harus bagaimana sekarang, dalam hati jelas sekali ada perasaan yang begitu senang, namun di lain sisi entah mengapa ia merasakan ketakutan yang luar biasa.
Bagaimana tubuh itu sudah hilang dalam rengkuhannya, Hadsa bergerak untuk membuat jarak lagi. Hadsa sudah menyadari kehadirannya, yang diyakini bahwa yang diinginkan pemuda itu adalah Jenggala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny [ MARKHYUCK ]
FanfictionBukan hanya sekadar perihal perjodohan saja, namun juga tentang bagaimana bahwa dirinya dijatuhkan ke dalam lingkungan yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Garis takdir yang bahkan beberapa orang tidak menginginkannya, semua orang...