17. Rasa Takut Terbesarnya

1.4K 118 14
                                    

Pemuda itu masih berada di sana, rasa penyesalan tengah menyelimuti raganya. Jenggala menangis tanpa henti, dia tidak berbohong jika rasa sakitnya sangat amat perih.

Perihal takut yang dia rasakan sedari awal berhubungan dengan Hadsa; ialah berakhirnya suatu hubungan.

Tak ada kelanjutan lagi dari hubungan keduanya, hanya ada akhir tanpa finish yang sedari dulu keduanya ingin mendapatkan sebuah kemenangan.

Nyatanya, Jenggala memilih untuk berhenti berlari, dia sudah tidak sanggup dan tidak bisa untuk melanjutkan.

Sama halnya dengan Hadsa, ia juga tidak bisa kembali berlari. Sebab, di sisinya tidak ada Jenggala. Semangatnya untuk mengejar finish harus dipaksa berhenti di tengah jalan.

Setelah kepergian Hadsa yang tetap bersikukuh untuk pulang sendiri tanpa diantar olehnya. Jenggala mengerti jika Hadsa tengah patah hati.

Sebab, ia pun merasakannya. Sangat perih dan ingin diobati.

Tepukan pada bahunya terasa, dibarengi dengan suara yang sudah Jenggala kenali. "Gal?" Davin memanggil.

Wajah yang mampu membuat orang kasihan pun dia usap kasar, terlihat sangat amat memprihatinkan, Jenggala akui itu.

"Lo ... kenapa?" Davin bertanya, Jenggala sungguh terlihat kacau.

Mata sembab Jenggala juga hidung memerah mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Davin, namun dia tidak menahu atas alasan apa yang membuat Jenggala menangis seperih ini.

"Gue ... putus, Vin." Davin mendudukkan dirinya di samping Jenggala— tempat yang sebelumnya diduduki oleh Hadsa.

"Lebih tepatnya, gue nyerah." Isakan tangis Jenggala kembali keluarkan, biar Davin kembali lihat lemahnya seorang Jenggala Ari Irawan.

"Keluarin semuanya, Gal. Jangan dipendam." Lantas, tangisan Jenggala meraung. Davin tak mempermasalahkan soal laki-laki enggak boleh menangis.

Sebab, Laki-laki juga manusia, mereka juga sama halnya mempunyai hati perasa dan lemah.

"Bapak gue sakitnya makin parah, Bokap Hadsa kemarin nemuin gue lagi, dan mempertanyakan tawarannya yang hari lalu bilang ke gue." Walau nada suaranya tercekat, Jenggala mampu berbicara dengan lancar.

Davin hanya mengusap punggung Jenggala yang kembali bergetar. "Dan gue ngeiyain tawarannya. Nanti senin, Bapak mau dibawa ke luar negeri, buat pengobatan lanjutnya."

"Gue seneng, akhirnya Bapak bisa lebih ditangani, Vin. Gak terhalang uang lagi."

"Vin, gue gak salah 'kan?" Davin hanya mampu mengangguk, ia membenarkan jika Jenggala tidak salah.

Namun Jenggala kembali melanjutkan ucapannya. "Gue jahat, Vin. Ninggalin Hadsa gitu aja, hanya soal uang. Kalau Hadsa tahu, mungkin aja dia akan jauh lebih sakit."

"Vin, gue sayang Hadsa, banget."

"Gue tahu, gue bisa ngerasain sayang lo ke dia." Davin coba untuk menguatkan pada teman yang belum lama bertemu.

Davin bertemu dengan Jenggala di sebuah klub malam, sosok tersebut sangat terlihat menyedihkan. Bagaimana tidak, Jenggala terduduk di salah satu tempat yang sudah disediakan di sana dengan kepala menunduk terhalang oleh kedua lengannya.

Suara Jenggala meracau, waktu itu dia belum tahu dengan masalah apa yang pemuda itu hadapi. Raganya bahkan terlihat seperti mayat hidup.

Hari-hari itulah Jenggala jarang mengabari Hadsa, pemuda tersebut sibuk dengan dunianya yang ingin sekali segera berakhir.

Sebab Jenggala sudah merasa lelah sedari lama, Jenggala sudah ingin menyerah saat itu juga, Jenggala sudah mau mati rasanya.

Karena sering bertemu, keduanya memutuskan untuk berteman. Terkadang membuat janji atau sekadar meminta untuk ditemani.

Jenggala menceritakan gundahnya pada Davin, semua yang dia rasakan akhirnya bisa dia utarakan pada seseorang.

Dulu, Jenggala sering bercerita pada Hadsa, namun melihat masalahnya kali ini, Jenggala takut akan itu.

"Vin, gue sayang Hadsa." Davin tahu, sangat menahu. Jenggala ... jangan terlalu berlarut dalam kesedihan dan patah hati. Sebab, Davin tidak mau melihatnya.

"Hadsa pasti benci sama gue, tadi dia mukul gue, gue bisa ngerasain marahnya." Racau Jenggala.

"Vin ... Hadsa pasti bahagia, 'kan?"

"Iya, Jenggala."

Kepala Jenggala kembali menunduk dalam topangan lengan yang berada di atas lutut yang dirinya tekuk.

Jenggala kembali menangis.

"Gue gak mau kehilangan Hadsa, gue bener bener sayang dia banget. Kalau enggak ada Hadsa, gue gimana, Vin?" Jenggala ini tidak menyadari, ya? Jika dia yang meninggalkan Hadsa, tapi dirinya juga yang sangat amat merasa kehilangan.

"Hadsa bakal tetep lanjutin hidupnya, dan lo juga. Mungkin iya gak akan berjalan berdampingan lagi, tapi jalan takdir akan terus berjalan, gak akan berhenti di sini." Davin berujar, lengannya sudah tidak berada di belakang punggung Jenggala. Melainkan menumpu seperti pemuda di sebelahnya.

"Jenggala, tetap lakuin yang sepertinya, ya? Jangan terlalu menyelami penyesalan, keputusan ini lo yang buat, dan gue pun gak mempersalahkan itu."

"Keputusan lo mungkin kata orang-orang salah, tapi mereka gak ngerasain apa yang lo rasain. Tetap berada di jalan lo, semoga kebahagiaan lo dan Hadsa akan terus berada di sisi kalian berdua."

"Walau sekarang udah enggak di sebuah hubungan lagi." Davin menarik nafas sebentar, "Tapi Jenggala, apa enggak bisa cerita ke Hadsa yang sebenarnya? Biar dia tahu apa yang lo pendam dari dulu."

Jenggala menggeleng, "Gue gak mampu, Vin. Takut raut kecewa Hadsa. Gue takut lihat Hadsa sedih."

"Gal, lo gak sadar, ya? Keputusan tanpa alasan yang jelas aja bikin dia sedih, atau bahkan lebih dari itu."

Jenggala tahu, Davin. Lantas ia mendongak, menoleh ke arah pemuda di sebelahnya. Sembari berikan sebuah senyum yang terlihat menyakitkan. "Gue belum sanggup, mungkin nanti gue akan cerita."

"Makasih, ya, Vin?" Davin tersenyum hangat, sontak mengangguk. "Anytime Jenggala."

Pandangan Jenggala beralih ke jaket Hadsa yang pemuda itu dengan sengaja tinggalkan, "Aku sayang kamu, Sa. Maaf, untuk keputusan tiba-tiba yang buat kamu bingung. Bahagia ya habis ini, kalau ada hal yang sedih atau apapun, kamu bisa berlabuh ke aku. Aku selalu siap jadi topangan lelah kamu." Jenggala utarakan dalam hati, tak terasa dia kembali meneteskan air matanya.

Ternyata, patah hati memang seperih ini, ya? Pun kehilangan bisa sesakit ini. Rasa takut terbesarnya, ternyata datang hari ini, ya? Jenggala sudah benar-benar kehilangan Hadsa.

Setelah ini hari-harinya sudah tidak ada Hadsa di sisinya lagi. Jenggala pasti akan merindukan sosok tersebut yang selalu dia sebut sebagai penyemangat hidupnya.

Hadsa, biar saja Jenggala yang rasakan sakitnya. Hadsa, tolong setelah ini kembali jalankan hidup sebagai mana mestinya.

Bahagia, ya? Maaf atas lukanya.

Destiny [ MARKHYUCK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang