Jenggala menepikan motornya di dekat cafe yang disebutkan Hadsa sebelumnya, kekasihnya bercerita bahwa dia kembali bertemu dengan Marley.
Dan di sinilah Jenggala, menunggu pemuda itu yang tengah asyik berbincang— yang terlihat dari luar, sebab kacanya transparan.
Walau membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya Marley keluar bersama teman-temannya. Jenggala hampiri pemuda itu yang mendapat wajah bingung dari semua orang.
"Boleh bicara sebentar?" Tanya Jenggala yang ditujukan untuk Marley, sedangkan pemuda tersebut memperlihatkan wajah yang tidak bisa dia tebak.
"Kalau gitu gue balik duluan, jangan lupa hafalin dialog lo." Ujar Hendra sembari berlalu dengan kendaraan beroda dua miliknya, diikuti dengan Melinda yang membonceng Nina, dan satu pemuda yang dijemput oleh sopir.
Kini hanya tersisa Marley dan Jenggala yang tak kunjung berbicara, Marley tentu tahu siapa pemuda di hadapannya, ia masih mengingat wajah yang beberapa hari lalu yang sedang berbincang nyaman dengan Hadsa.
"Jadi, gak? Gue gak ada banyak waktu." Jenggala tersenyum tipis, benar apa kata Hadsa jika Marley begitu menyebalkan.
"Ngopi?" Tanya Jenggala, ia merasa tak enak saja pada pemuda yang memandangnya seperti ogah-ogahan.
"Gak usah bertele-tele deh, lo mau ngapain? To the point, terlalu males buat lama-lama sama orang kayak lo." Ujar Marley terdengar angkuh.
"Oke." Jenggala ambil napas sebentar, dan kembali berujar. "Ini menyangkut waktu lalu, gue gak suka Hadsa direndahkan sama manusia kayak lo." Jelas Jenggala sedikit membalikkan kalimat Marley.
Marley menyeringai, "Oh, ngadu, ya?"
"Apa yang gue bilang ke dia, gue rasa gak ada yang salah." Ujarnya tanpa berpikir panjang.Rahang Jenggala mengeras, sembari tahan emosi yang memupuk, kekasih Hadsa berujar. "Gue tahu lo siswa pintar yang bisa menyimpulkan kalimat-kalimat lo waktu lalu."
"Kalimat mana, sih?" Marley tampak berpikir dengan main-main, "Yang gue bilang homo tuh enggak pantes buat hidup?"
"Atau ... " Marley menggantungkan kalimatnya, membuat Jenggala menggertak gigi. "Atau manusia hina?" Seringai Marley kembali perlihatkan setelah melihat Jenggala mungkin sebentar lagi akan memukulnya.
"Gue bener 'kan? Kalau orang-orang kayak lo itu, gak pantes buat ada di dunia. Apalagi pacar lo, sampah."
Sudah tidak bisa tahan emosi dan rasa sakit yang dirasakan Hadsa, Jenggala memukul telak tulang pipi sebelah kiri milik Marley. "Buat rasa sakit Hadsa." Tubuh Marley jatuh tersungkur atas pukulan Jenggala.
Jenggala kembali memukul sebelum Marley berdiri—BUGH, ia tidak memberi ampun pada pemuda itu. Jenggala pukuli tempat yang menurutnya lengah, perut dan kaki bahkan menjadi sasaran.
Marley sibuk menutupi wajahnya, Jenggala di atas memukuli tubuhnya. Emosi Jenggala sudah tidak bisa ditahan, orang-orang berkumpul tak dirinya hiraukan. Jenggala hanya ingin semua rasa sakit Hadsa terbalas.
Mau bagaimanapun, Jenggala tidak terima jika kekasihnya dihina seburuk yang pemuda itu lontarkan.
Sebab, orang-orang sepertinya berhak untuk hidup di dunia, bukan untuk dihina dan diberi pandangan aneh. tetapi, Jenggala dan Hadsa juga manusia. Berhak mendapatkan bahagia, tanpa rasa kasihan dari orang-orang seperti Marley.
"Eh, kak!" Pekik pekerja di cafe tersebut, seakan tuli, Jenggala tak pedulikan seruan orang-orang yang menyuruhnya untuk berhenti.
"Gue mohon, jangan sakiti Hadsa lagi. Gue gak bisa buat jaga dia, karena gue gak bisa bawa Hadsa buat diri gue sendiri, gue tahu, kalau gue enggak semampu itu." Ujar Jenggala terdengar lirih setelah menepuk bahu Marley dengan pelan, lantas dia beranjak, sedangkan raga Marley dibantu berdiri oleh pekerja di cafe tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/326902270-288-k550231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny [ MARKHYUCK ]
Hayran KurguBukan hanya sekadar perihal perjodohan saja, namun juga tentang bagaimana bahwa dirinya dijatuhkan ke dalam lingkungan yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Garis takdir yang bahkan beberapa orang tidak menginginkannya, semua orang...