Bagian 35

107 34 10
                                    

Ternyata seperti ini rasanya menjadi pengantin baru, cukup menyenangkan. Walaupun terlambat merasakan euforianya, aku tetap menikmati.

Hubunganku dan Haqla jadi semakin hangat dan panas tentunya. Apalagi setelah ku sadari kalau memeluk dan dipeluk Haqla adalah kegiatan yang mulai ku sukai. Rasanya aku benar-benar sudah menikmati peranku sebagai istri yang sebenarnya.

Haqla pun tampaknya sudah nyaman dengan percintaan kami. Tidak ada lagi bagian tubuhnya yang saat ku sentuh tiba-tiba membangkitkan kenangan buruknya. Sepenuhnya dia sudah menjadi milikku.

Meski rutin berhubungan, nyatanya tak membuatku berhasil hamil di bulan pertama hangatnya ranjang kami. Aku dirundung kecewa saat tiga hari lalu aku mendapati diriku kedatangan tamu bulanan. Jadi aku tak akan membawa oleh-oleh kabar kehamilan untuk keluargaku nanti.

Ya, aku hanya perlu bersabar kalau ditanyai orang-orang di desa nanti. Lagi pula kami baru beberapa bulan menikah, belum juga setahun. Tidak perlu diambil pusing. Nyatanya aku pun ahli dalam bersikap masa bodoh. Begitu pikirku, walau tidak yakin tak akan menggerutu kalau ada yang menyinggung.

"Jadi tinggal tunggu Haqla pulang, terus langsung berangkat ke bandara?" tanya Wulan yang ku balas anggukan cepat.

Aku sedang bersama Wulan sekarang, duduk di kursi teras rumahnya sambil menunggu kepulangan Haqla. Harusnya suamiku itu sudah mulai cuti hari ini. Tapi karena ada rapat penting katanya, dia terpaksa ke kantor dulu sejak pagi tadi.

"Karena itu aku kesini, Mbak. Nanti kalau Haqla pulangnya agak telat terus kami harus buru-buru ke bandara, takutnya nggak sempat pamitan lagi."

Wulan mengangguk mengerti. Sebenarnya ini juga bukan kepergian mendadak. Sebelumnya aku sudah menyinggung tentang rencana pulang kampung karena pernikahan adikku padanya.

"Pesawat kapan sih, Na?"

"Jam 2, Mbak. Kira-kira bisa kekejar nggak ya?" tanyaku agak cemas. Sampai sekarang Haqla belum memberiku kabar kalau dia sedang bersiap untuk meninggalkan kantor.

"Masih terkejar kalau paling lambat 2 jam lagi kalian sudah berangkat dari sini."

"Begitu ya, Mbak? Mudah-mudahan saja nggak ketinggalan pesawat."

Aku harap Haqla tidak lupa, walaupun rasanya mustahil untuk itu. Indra sudah berulang kali mengingatkannya. Bahkan sebelum berangkat kerja tadi adikku itu menelepon. Rasanya ingin menghubungi Haqla, tapi aku takut mengganggunya atau terlihat buru-buru padahal masih banyak waktu.

"Salam untuk keluarga disana ya, Na. Sampaikan juga selamat atas pernikahan adikmu. Maaf Mbak sama Mas Iqbal nggak bisa datang."

"Nggak papa, Mbak. Nanti aku sampaikan. Terima kasih."

Baru kali ini aku berbincang bersama Wulan yang terlihat sangat santai. Kedua orang tuanya datang berkunjung sejak kemarin sore. Jadi si bungsu sekarang sedang bermain didalam rumah bersama kakek dan neneknya itu.

"Oh iya, Na. Mas Iqbal bilang, kamu sudah tau tentang masalah Ahmad. Haqla beberapa hari lalu cerita katanya."

Mendengar itu, aku mengangguk ragu. Sebenarnya agak bingung, karena aku tidak tau apakah yang dimaksud Wulan tentang dunia kelam Ahmad atau bantuan lelaki itu pada balas dendam Haqla. Sebab Haqla bilang, selain orang tua, hanya teman terdekat Ahmad yang tau tentang sisi lain hidupnya.

"Kamu juga sempat bertemu Dea di rumah Bu Rita kan ya? Cuma nggak sempat bicara atau menyapa kata Haqla."

"Dea?"

"Iya, Na. Dea namanya istri Ahmad itu."

Ingatanku langsung berputar pada sosok perempuan yang turun dari mobil Haqla hari itu, saat aku mengunjungi Bu Rita. Apa dia kah yang dimaksud?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang