Aku berdecak ketika Lingga membiarkan payudara kanannya terpampang jelas saat meletakkan Aurel keatas kasur bayi. Apa salahnya dia menyembunyikan salah satu asetnya itu ke balik bra dulu sebelum memindahkan putrinya?
"Gimana, Na? Sekarang lebih besar punya kan daripada punya kamu," kata Lingga terdengar bangga. Kemudian dia memperbaiki posisi bra dan juga piama yang dikenakannya.
Ya, aku pun membenarkan ucapan Lingga dalam hati. Bahkan saat hamil pun sebenarnya payudara Lingga sudah mulai menunjukkan perubahan pada ukurannya. Apalagi sedang masa menyusui begini. Produksi ASI nya pasti meningkat.
"Tapi kayaknya payudara kamu besar sebelah nggak sih, Ngga?" tanyaku mengikuti Lingga untuk memelankan suara. Jangan sampai bayi cantik yang baru saja tertidur itu bangun kembali. "Apa cuma perasaanku aja?"
"Memang besar sebelah, Na. Soalnya aku lebih sering menyusui Aurel dengan payudara kanan. Yang kiri rasanya nyeri dikit," jawabnya sambil menyentuh bergantian kedua payudaranya.
"Tapi harus tetap dipaksa, Ngga. Kamu nggak ingat sama yang pernah operasi karena infeksi itu loh?" Siapa ya? Walaupun aku lupa orangnya, tapi aku tetap ingat ceritanya.
"Iya, aku ingat. Aku juga sudah diwanti-wanti sih, Na. Walaupun nyeri, ASI nya harus tetap dikeluarkan. Takutnya nanti jadi radang kelenjar susu kan. Kalau nggak mau nangis didepan Aurel waktu paksa nyusuin dia pake yang kiri, kadang aku pompa aja. Tapi aku lebih suka dibantu Ardi sih. Nyeri-nyeri tapi tetap ada enaknya."
Aku geleng-geleng kepala saat ekspresi mesum muncul di wajah Lingga. Jelas dia sedang membayangkan apa yang baru saja dia katakan. "Tapi Aurel nyusunya kencang ya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Banget, Na. Makanya jadi bulat begini badannya. Kebanyakan nyusu kayaknya."
Aku terkekeh pelan sebelum memandangi wajah tidur Aurel. Bayi itu benar-benar cantik. "Nggak papa bulat dulu, yang penting dia sehat."
Ardi memanggil putrinya ini dengan nama Aurel. Panggilan itu diambil dari nama depannya, Aurelia. Lingga sempat protes karena panggilan itu sudah pasaran sekali katanya. Dia ingin panggilan yang lebih lucu seperti Aure atau baby Urel, tapi Ardi tetap dengan panggilan semula. Mau tak mau, Lingga hanya bisa mengalah.
"Ngomong-ngomong, kamu kenapa bisa santai banget ya, Na? Di rumah memangnya nggak ada yang perlu dikerjakan?"
Aku menggeleng. "Kalau ada, aku sudah disuruh pulang sejak tadi dong. Buktinya belum ada yang menghubungi," jawabku sebelum menghabiskan sisa air minum di dalam gelas.
"Terus Haqla dimana?" Pertanyaan yang nyaris sama seperti yang dilayangkan Lingga tadi saat aku datang. Tapi aku hanya menjawab kalau Haqla tidak ikut bersamaku kesini.
"Waktu aku jalan kesini, dia lagi siap-siap mau ke terminal sama Ayah. Nggak tau sekarang sudah di rumah lagi atau belum."
Aku benar-benar mengabaikan suamiku itu. Kalau bukan karena sedang berada didekat Ayah dan Bunda, aku tak mau menanggapi ucapannya hingga enggan menatap matanya. Aku bahkan betah memunggunginya.
Saat melihat wajah Haqla, amarah dan rasa kecewaku keluar seketika. Aku tidak mau lepas kendali seperti kemarin didepan kedua orang tuaku. Karena itu aku lebih suka menghindar.
"Ke terminal buat jemput siapa?"
"Tante Vera."
Lingga mengangguk-angguk. "Oh, iya. Baru balik hari ini ya? Aku kira Tante Vera sudah di rumah. Jordy jadi diundang sama Indra nggak, Na? Waktu main kesini dia pernah tanya, bagusnya diundang apa nggak. Aku bilang ya undang saja."
Aku menghela nafas lega. Tidak masalah kalau Lingga mengungkit mantan pacarku itu daripada ujung-ujungnya menanyai soal pernikahanku dan Haqla. Bisa-bisa dia mencium ada yang aneh dari cara aku menanggapi pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Billing My Promise
Chick-LitTiga puluh tahun hidupnya terasa baik-baik saja meskipun Inayah Rubia sempat jatuh bangun dalam hubungan sosial dan percintaan. Tapi dengan hadirnya Haqla Fakhri Jahid, teman bermain adiknya sekaligus tetangganya yang dulu menghilang, kehidupan Inay...