Bagian 37

770 87 8
                                    

Pernikahan Indra diadakan di aula salah satu gedung. Akad nikah pada pukul delapan pagi di hari sabtu, kemudian dilanjutkan dengan resepsi sekitar pukul sepuluh. Hal itu sesuai dengan permintaan keluarga Siti, yang tentunya juga disetujui oleh orang tuaku.

Dalam undangan yang dibagikan, resepsi hanya dibatasi sampai pukul dua siang. Namun pada kenyataannya, acara baru berakhir sekitar pukul empat sore. Banyak tamu undangan yang baru datang saat waktu sudah mendekati pukul dua siang.

Tentu saja hal seperti itu akan terjadi, sebab undangan yang disebar bukan hanya untuk kenalan dari pihak keluargaku saja. Melainkan kerabat dan juga kenalan dari keluarga besar Siti. Jumlah undangan yang dibagikan dari pihak Siti bahkan lebih banyak dari adikku.

Tapi berhubung Indra dan Siti menggunakan jasa wedding organizer, acara dapat terkondisikan dengan baik. Karena itu aku jadi cukup santai sebelum, saat dan sesudah acara pernikahan ini. Sehingga sepanjang acara, entah beberapa kali aku keluar gedung demi mendapatkan udara segar.

Dan selama berada di dalam, berulang kali aku memperhatikan Indra yang berdiri diatas pelaminan bersama istrinya. Aku yakin bibirnya akan terasa pegal setelah tersenyum lebar sepanjang hari ini. Air liurnya mungkin saja mengering karenanya.

Sebesar apapun keinginanku untuk menggoda Indra, tapi nyatanya aku senang adikku itu bahagia. Dia menikahi perempuan yang dia cintai setelah sekian lama mereka berpacaran. Walaupun hubungan itu tidak selalu berjalan mulus, mereka akhirnya bisa bersama.

"Nyari apa, Kak?"

Aku menoleh cepat pada Indiana yang berjalan sambil membawa nampan berisi beberapa gelas kotor di tangannya. Walaupun acara pernikahan tidak diadakan disini, rumah orang tuaku tetap ramai. Ada keluarga kami yang memilih untuk menginap, dan rencananya baru akan pulang besok setelah subuh.

"Puding buatan kamu. Aku sudah simpan sedikit tadi, kok sekarang nggak ada ya?" tanyaku sambil memasukkan kembali beberapa kotak yang ku keluarkan dari kulkas.

"Oh, itu. Aku kasih ke Bang Haqla tadi. Dia kelihatan ngiler waktu lihat para bocah makan puding. Kasian aku. Istrinya nggak peka, suaminya nggak mau minta."

Aku bukannya tidak peka. Sengaja aku pisahkan sebelum mandi tadi untuk aku bagi dengan Haqla. Tapi setelah selesai mandi, aku malah tak menemukannya. "Terus kamu kasih semuanya?"

Dengan raut polosnya Indiana mengangguk mantap. "Kenapa?"

"Indi...." panggilku lirih menahan kesal. Aku menutup pintu kulkas sebelum berdiri dan berkacak pinggang.

"Kakak sengaja simpan buat suami Kakak kan? Apa jadi masalah kalau aku yang bantu untuk kasih ke Abang iparku sendiri?"

Tentu saja itu tidak masalah. "Bukan begitu. Harusnya kamu bagi dua dulu."

"Ya, aku mana tau coba? Salah Kakak sih. Suami dibiarin begitu aja. Harusnya dilihat dong. Ada minum nggak dia? Makan atau ngemil nggak?" Dia malah mengomel seperti Tante Vera.

"Aku tadi lagi mandi, Indi."

Sebelum masuk kamar mandi, Haqla masih ada di kamar. Setelah aku selesai, aku tak mendapatinya disana. Mana aku tau kalau dia jadi terlihat tak diperhatikan selama beberapa menit itu.

"Ya, mau gimana lagi? Sudah habis juga. Makanya kemarin waktu aku minta Kakak buat bantu bikin, Kakak itu nurut. Jadi bisa buat lebih banyak kan?"

"Aku kan mau main sama keponakan." Aku meraih satu potong bolu dari piring diatas meja makan. "Anak Lingga gemesin banget," ucapku jelas walaupun ada makanan didalam mulut.

"Anak Kakak kelak pasti lebih gemesin lagi. Dia lahir dari bibit berkualitas unggul begini."

"Jangan buat aku semakin kesal," tegurku membuat tawa Indiana pecah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang