Bab 29

1.2K 131 1
                                    

Langkahnya tidak beraturan karena gelisah. Senyum tidak lagi merekah di wajahnya pada perjalanan yang sama seperti sebelumnya. Tidak lagi bersemangat seperti dahulu, karena ruam hati yang terlalu menumpuk terpendam.

Dia pun berhenti di tengah jalan. "Apa Putri akan tersenyum setelah mendengar hal ini.. Seperti dulu?" tanya Melda dalam hati.

Semangatnya untuk berpikir positif sudah perlahan memudar. Pemikiran bahwa senyum yang selalu ia bawakan bisa mengembalikan Putri, sampai kini terasa sia-sia. 

Karena ketika Melda selalu datang untuk membawa berbagai hal kesukaan Putri, dengan harapan kegembiraan seperti dulu bisa kembali. Sang Putri akan tetap duduk di bangku beroda itu. Memberi tatapan lesu seperti orang sekarat pada kulit memucatnya.

Seketika suasana ruangan akan berubah sangat hangat. Kehangatan yang membuat siapa pun merasa tidak nyaman dan ingin segera keluar dari sana. Keringat yang bercucuran, jantung yang berdebar karena perubahan suhu, rasanya seperti berada di padang pasir seorang diri dengan perasaan putus asa untuk mencari di mana letak mata air dapat menetes.

Selain itu, ada hal lain yang membuat Melda lebih tidak tenang. Alasan dia hari ini menemui Aasha di luar waktu dia biasanya menemuinya. Aaron memanggilnya sebelumnya, memintanya berusaha membujuk Aasha melakukan sesuatu.

"... Aasha selamat dari ledakan sihir kemarin bukanlah pertanda baik. Karena sihir yang rusak masih tertanam di dalam tubuhnya, masih ada kemungkinan ledakan susulan akan datang dan itu bisa terus berlangsung sampai tubuhnya tidak bisa menahan luapan itu..."

".. Dia tidak mau menemuiku, Elise ataupun Louis. Hanya kau satu-satunya yang memiliki kesempatan untuk berada disisinya. Tolong bujuk dia untuk bertemu denganku ketika makan malam.."

Perkataan Aaron masih bisa di dengarnya dengan jelas. Tangannya selalu bergetar ketika mengingat betapa buruk keadaan Aasha karena ledakan itu. Dan karena sihir rusak yang masih tertanam, Aasha bisa mendapat ledakan susulan lainnya?

Seperti sudah gila. Satu ledakan saja tidak hanya menghancurkan kaki Aasha, tapi juga kebahagiaan dan harapan perempuan itu. Lantas bagaimana dengan ledakan kedua dan ketiga?

Memikirkan segala kemungkinan membuat Melda semakin takut. Air matanya mengalir tanpa izin, menetes dengan deras melewati dagunya membasahi pakaiannya. 

Melda tidak kuasa menahan suara tangisannya, sehingga dia harus membekap mulutnya sendiri untuk tetap diam. Tapi bayangan di kepalanya terus membuat tangisannya semakin deras. Tubuh Aasha yang berlumuran darah, sampai sudah tidak bisa dikenali lagi setelah berbagai ledakan sihir terjadi. Putri yang selalu bersikap polos, mengutamakan orang lain selain dirinya sendiri, orang yang tidak berdosa sepertinya akan berakhir mengenaskan seperti ini?

Sebuah langkah kecil mendekati Melda yang ter jongkok di pinggir koridor. Sepatu coklat muda dan pakaian latihan berwarna biru muda. Melda sempat terkesiap dengan rambut putih perak seperti butiran salju musim dingin.

"Putri..." Tapi setelah itu tatapannya memudar terlihat. Matanya terlalu membendung air sehingga Melda menghalusinasikan hal lain, tapi bukan salahnya karena mereka terlihat serupa.

"Melda? Pelayan pribadi Aasha, Melda kan? Kenapa kamu berada di sini- Eh, apa kamu sedang menangis?!" 

Elise berjongkok di samping Melda sambil menatapnya penuh ke khawatirkan. Melda tersentak, ia segera memegangi lengan Elise untuk segera berdiri.

"Pu-Putri... Anda tidak perlu melakukan hal ini kepada pelayan sepertiku.." ucap Melda panik.

Elise memiringkan kepalanya bingung, "Apa? Jongkok seperti tadi?"

Rewrite Villain Love Story [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang