10. apa semuanya hanya kebetulan?

52 29 4
                                    

Sebuah ruangan bekas kelas 12 MIPA yang terbengkalai telah dihuni dua remaja sambil menyeruput es jeruknya masing-masing.

Tidak ada perbincangan sampai sebuah notifikasi dari handphone Baekseung nyaring terdengar. Ada sebuah pesan misterius memberikan sebuah pesan berisi teka-teki.



+62 857xxxxxxxx


masa lalu yang kelam
masa depan pun demikian




Baekseung memberikan benda pipih tersebut pada Jeongwoo, dia tampak ikut berpikir. Apa maksud dari pesannya? Dan mengapa si pengirim harus repot-repot memberikan teka-teki gila semacam itu. Mengerti saja tidak.

Karena Baekseung hanya ditemani Jeongwoo, mereka berdua memilih untuk tidak membalas. Selagi bukan berisi kalimat ancaman, mereka tetap akan tetap berpikir positif, siapa tahu hanya orang iseng.

"Gue ajak lo ke sini karena mau minta maaf." Lagi, ucapan Jeongwoo menjadi topik paling menarik bagi Baekseung.

Binar mata penuh selidik sudah siap menjumpai mimik kejujuran atau kebohongan yang terpancar.

"Terlepas dari muka gue yang keliatan bahagia, gue murni mau ngejaga lo karena sejatinya emang ada yang janggal."

"Apa?" tanya Baekseung pada kata terakhir yang terucap kurang spesifik mengarah ke mana.

"Ya masih sama kayak tadi, cowok tinggi dari balkon lantai dua ngarahin kamera hp-nya ke arah lo, kalau lo pikir cuma orang iseng yang mau bikin insta story segala macem, gue rasa kurang tepat."

"Masabodo lah, gak perduli. Gue lebih kepo kenapa lo sembunyi-sembunyi dari gue? Pake acara baju serba item padahal sebelumnya lo pake seragam."

Jeongwoo menarik nafas panjangnya, sedikit mengurai rambut secara acak. "Baju serba item udah ada dari lama. Baju ganti itu takut tiba-tiba hujan. Gue cowok mamba!"

"Zumba lebih cocok!" Baekseung melayangkan muka tak berekspresi.

"Gue sembunyi karena gue rasa kita kurang deket," lanjutnya pada penjelasan yang terpotong tadi.

"Gue masih penasaran sama rumah Sunghoon Sunghoon itu, mau ikut ke sana gak nanti malam?" Awalnya Baekseung ragu ingin mengajak Jo atau Gaku, namun keraguan itu tuntas kala Baekseung berpikir Jeongwoo lah orang yang paling tepat. Entah kenapa hatinya yakin bahwa Jeongwoo lebih menguntungkan.

"Gue juga penasaran sama orang yang udah masuk ke rumah gue."

"Hah?"

"Kemarin malem, gue susah tidur. Masih coba buat turun ke dapur ambil minum dan duduk-duduk dulu. Tapi tahu gak sih? Jendela kamar masa kebuka sendiri!"

Baekseung juga terkejut akan pernyataan Jeongwoo barusan. Pikirnya pun sama, bisa saja angin kencang yang membuat jendelanya terbuka sebab tidak terkunci.

"Gue udah kunci jendelanya."

"Lupa kali itu."

"Udah jadi kebiasaan, gak mungkin lupa, Baekseung! Dan yang lebih bikin gue yakin kalau ada yang masuk itu sobekan kain!"

"Maksudnya? Sobekan kain apa?"

"Rumah gue masih tahap pembangunan dan jendelanya masih ada beberapa paku yang belum dicabut. Kain itu kayak kain buat bikin tas, tebal soalnya."

Lagi-lagi keanehan membuat otak keduanya membeku, seolah tanda tanya membelenggu akal sehat.

Apa benar ada 'seseorang' masuk hanya untuk menjahili Jeongwoo?

Tapi Jeongwoo tidak penakut, kecuali dia ditodong pisau atau semacamnya.

"Kalau lo masih hidup dan masih lengkap, anggap aja kejadian malem tadi itu gak pernah ada."

Jeongwoo mengangguk paham. Memikirkan siapa pelakunya pun tidak akan menghasilkan apa-apa selain kekhwatiran yang lebih besar.

Mulai sekarang dia harus lebih waspada dan mengecek semua pintu masuk serta jendela. Akan lebih bagus jika kunci pintu dia pasang lebih dari dua.

Beberapa menit setelah bel masuk tak mereka hiraukan, niat membolos sudah tercetus sejak setengah jam lalu. Baekseung, sih, tidak masalah. Yang punya masalah hanya Jeongwoo, dia harus punya alasan untuk menyakinkan Jungwon, Jo dan Gaku.

"Jadi, gimana?"

Jeongwoo belum memberikan keputusannya pada Baekseung soal menyusup rumah Sunghoon nanti malam.

"Kasih waktu buat mikir." Bukan tak mau, hanya saja dia terlampau malas malam-malam berkeliaran hanya kerena rasa penasaran.

Walau tidak menutup kemungkinan mereka berdua akan mendapatkan titik terang soal kasus penembakan, tapi ayolah, menyusup rumah psikopat bukan hal yang panut dibenarkan.

Kalau sewaktu-waktu ada penyelidikan ulang dan sidik jadi mereka terdeteksi, bukan tidak mungkin kalau keduanya akan terseret masuk karena kasus Sunghoon pun masih belum 100 % usai.

Kemungkinan terburuknya, masih ada kaki tangan keluarga Sunghoon yang menjaga kediamannya. Bagaimana kalau kaki tangan itu malah membunuh mereka berdua dan berakhir dengan pengumuman orang hilang?

Memikirkan itu Jeongwoo jadi mati kutu.

"Jangan khawatir, gue bukan orang yang minim kemampuan bela diri. Jeongwoo, lo satu-satunya orang yang gue percaya."

"Kenapa bukan Gaku atau Jo? Gue takut."

"Gue jemput tengah malam nanti, oke?"

Karena tak punya pilihan, akhirnya Jeongwoo mengiyakan. Kadang dia menyesal telah menyetujui keikutsertaannya untuk mengungkapkan kasus penembakan tujuh remaja di pantai saat sedang liburan.

Harusnya pihak berwenang yang menangani agar semuanya menjadi lebih mudah.

"Seung, apa kita laporin semua kejanggalan yang udah kita catet ke detektif kasusnya aja?"

"Gue punya ambisi, nama lo dan yang lain bakal naik. Gue janji." Usai itu, Baekseung pergi tanpa memberitahukan kemana tujuannya.

Tersisalah Jeongwoo seorang. Kembali ke kelas pun dia rasa sudah tidak perlu. Satu batang rokok yang dia sembunyikan dalam saku sudah tersemat diantara dua jari. Sambil menghisap, dia menatap langit-langit ruangan.

Sedikit banyak masalah mulai berkerumun pada pikiran Jeongwoo yang sebenarnya ingin beristirahat, ingin lebih banyak tenang ketimbang ruwet tak berujung. "Kalau aja yang jadi korban itu gue, pasti gue dapet banyak perhatian."










+×+

Updatenya akan mundur dari jadwal karena aku UAS, maaf yaa semuanya.....

10080 [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang