Kali ini, Baekseung menunggu empat teman barunya lebih dulu karena kebetulan pelajaran terakhir dikelasnya itu kosong. Disela-sela menunggu bel pulang yang masih sepuluh menit, dia memperhatikan parkiran tiga yang tanpa mengedip. Walaupun parkiran masih senyap dan beberapa motor masih pada tempatnya, ada kecurigaan yang dia tangkap.
Motor-motor yang masih bisa dihitung jari itu terlihat ada sesuatu yang dia kenali. Karena memang tidak ada orang, Baekseung melangkah untuk mengetahui apa kecurigaannya benar, atau matanya hanya salah tangkap.
"Loh? Ini kan hoodie orang yang masuk ke rumah Sunghoon kemarin?" Baekseung bahkan melihat dengan teliti. Semuanya sama, warna dan motifnya serupa dengan apa yang dia lihat kemarin.
"Woy!" Teriakan itu murni suara Gaku. "Kalau mau minjem ya bilang, jangan ngaku gak tahu eh tiba-tiba hoodie gue udah ditangan."
Baekseung sontak melempar benda itu hingga jatuh ke tanah. Terlebih, pagi tadi turun hujan, hoodie itu kotor.
"Ngapain lo jatohin samsul! Kotor nih!" Si pemilik hoodie berdecak tak suka. Hoodie itu adalah hoodie yang sama dengan ketiga temannya sebagai bentuk solidaritas.
Jungwon, Jo dan Jeongwoo punya jaket yang sama. Tapi yang paling sering memakainya adalah Gaku.
"Bukan gue, hoodie itu tadi ada di atas motor." Baekseung menunjuk motor dengan mimik tak mau disalahkan.
Baekseung sama sekali tidak berbohong, tapi Gaku berpikir kalau ucapan Baekseung tadi hanya alasan saja. "Yakin?"
"Yakin. Kalau lo gak percaya juga, ayo liat CCTV! Nanti gue yang minta izin ke Pak Mamat."
"Di sini mana ada CCTV?" kata Jungwon. Dia lantas melanjutkan kalimatnya, "CCTV tuh adanya cuma di depan lab. Komputer, didepan Ruang Guru, disamping ruang Tata Usaha sama ditempat-tempat yang ada barang berharga."
"Di sini juga ada motor, berharga juga!"
"Terus gunanya pager di depan sana buat apa? Udahlah, kalau salah ya salah aja." Kali ini nada bicara Jungwon sedikit meledek. Baekseung jelas geram walau sejatinya dia tak melakukan suatu kesalahan.
"Udah ayok masuk, keburu siang." Di suasana yang panas tadi, Jeongwoo menengahi. Kalau acara debat terus dibiarkan, bukan tak mungkin kalau perang dingin akan terjadi. Jeongwoo tidak masalah jika Jungwon dan Baekseung akan perang dingin, yang dia permasalah adalah uang tambahan dua puluh lima ribunya akan lenyap jika mereka berempat bermusuhan dengan Baekseung.
Arloji milik Jo sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi mereka masih diam tanpa ada yang mau bicara terlebih dahulu. Terutama oknum yang kini sibuk membersihkan Hoodie-nya, Gaku masih cemberut.
"Nanti gue cuci, deh. Tapi serius, bukan gue yang ngambil hoodie lo." Baekseung mencoba mencairkan suasana. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, mau tak mau dia harus menawarkan bantuan pada Gaku, yang barangnya sudah dia kotori.
"Gak usah. Mahal, nanti ilang, terus lo alesan lagi." Nah kan, padahal maksud Baekseung itu baik, Gaku nya saja yang selalu berpikiran buruk.
"Gue kemarin liat orang pake Hoodie yang sama kayak punya Gaku, dia masuk ke rumah Sunghoon lewat belakang."
Penuturan Baekseung tadi membuat salah satu dari empat orang yang tersisa diam.
"Lo ke rumah Sunghoon? Ngapain?"
"Cuma ngecek aja, terus gak sengaja ada tetangganya yang kasih gue sesuatu."
"Apa katanya?"
"Gue lupa, buku gue gak dibawa." Kali ini Baekseung berbohong, mencoba menemukan wajah siapa yang terlihat marah.
Tapi nyatanya, tidak ada wajah-wajah marah dan semacamnya. Keempatnya teman baru Baekseung itu hanya mengangguk.
"Sekarang, apa yang harus kita bahas?" Jo menunggu, otaknya siap untuk berpikir lagi.
"Belum ada, kan gue bilang bukunya gak dibawa. Tapi ada sesuatu yang pengen gue obrolin."
"Apa?"
"Gue dapet info kalau besok, ada pensi di sekolah para korban."
"Dih? Lawak banget sekolahnya, anak muridnya ada yang meninggal kok ngadain pensi?"
"Terlepas dari kasus pembunuhan beberapa hari kebelakang, kita perlu ingat kalau acara pensi itu udah dipikirin jauh-jauh hari dan udah disiapin ini itunya. Murid lain juga punya hak buat seneng-seneng. Nanti sebelum acara pasti ada doa bersama."
Pendapat Jeongwoo benar, bahkan bagus kalau besok ada acara di sekolah para korban. Bukankah itu adalah suatu keberuntungan?
"Jadi, kalian gak ada yang mau nemenin gue ke sana?" Baekseung berusaha lagi untuk mengajak tiga orang yang tersisa, syukur-syukur kalau Jo ingin ikut dan menggantikan peran Jungwon. Tapi tolakan halus lagi yang dia terima.
Bukan Baekseung benci dengan Jungwon, dia juga butuh orang yang nantinya bisa bertukar pendapat. Karena besok itu hari dimana dia akan menyusup, datang ke sana harus mempunyai izin yang dimana selain siswa/i sekolah sana dan orang yang berkepentingan tidak boleh masuk tanpa izin yang jelas. Namun kali ini, ide cemerlang dia dapat tanpa harus susah-susah berpikir.
"Oke. Besok gue jemput Jungwon."
"Gak usah, kita ketemuan di minimarket deket sekolah aja."
"Lo tau di mana sekolahnya?"
"Tau, gue udah cari tahu sedikit tadi malem."
"Gimana cara kalian berdua lolos pemeriksaan?" tanya Jo. Dia masih tak tau jelas apa rencana Baekseung untuk besok.
"Tadi malem, ada yang bikin SG tiket pensi buat besok. Gue tanya-tanya dia, apa tiket itu mau dijual. Gue pasang harga tinggi, satu tiket lima puluh ribu."
"Haha. Padahal aslinya cuma goceng." Gaku malah tertawa ditengah-tengah sibuknya membersihkan hoodie.
"Gapapa. Rugi sedikit itu wajar."
"Terus?" Jo dan Jeongwoo makin dibuat penasaran.
"Katanya, yang jaga itu anak MPK bukan OSIS. Jadi, peluang gue dan Jungwon lolos tanpa ditanya-tanya itu lebih besar."
Jo tepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya. Ada rasa kagum yang teramat sangat, Baekseung sungguh cerdas sekali. Bisa menemukan celah yang sedemikian banyak adalah hal yang patut diacungi jempol.
Satu dari tiga oknum yang ada di hadapan Baekseung hanya senyum tanpa ekspresi lebih dari itu.
Parahnya, Baekseung tak sadar.
+×+
Maaf karena telat update:(

KAMU SEDANG MEMBACA
10080 [Selesai]
Misterio / Suspenso[ S E A S O N 1 - 3 L E N G K A P ] "Siapa dalangnya?!"