04

3.7K 259 2
                                    

Beruntung di zaman sekarang anak-anak sekolah bisa menggunakan masker di dalam kelas, jadi Nevda tidak perlu bingung mencari cara untuk menutupi sudut bibir nya yang terluka.

Ia mencoba terlihat biasa saja di depan orang-orang yang menatap nya. Mati-matian ringisan ia tahan, punggung nya terasa perih, belum lagi dada nya terasa sangat sakit jika ia bergerak sedikit saja.

Tangan yang diam-diam mencengkram perut nya akibat pukulan Byaz yang masih terasa sangat menyakitkan, Nevda mencoba fokus pada penjelasan guru di depan nya, ia harus bertahan sampai bel pulang berbunyi.

"Nevda" sang pemilik nama mengerjab, lalu menatap wanita yang berdiri di hadapan nya. "ibu perhatiin kamu dari tadi gak dengerin penjelasan ibu ya?"

Nevda menerima spidol yang guru nya berikan, "kerjakan soal nomor 3 di papan tulis!" Nevda mengangguk, lalu berdiri walaupun ringisan terdengar jelas.

Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan angka-angka di papan tulis, Nevda menatap jawaban nya lalu memberikan spidol kepada sang guru. "saya boleh duduk, bu?" tanya Nevda walaupun nada bicara nya terdengar gemetar.

"kamu sakit, Nevda?" tanya Diah, guru Kimia Nevda.

Diah melihat jawaban Nevda dan mengangguk puas ketika tak ada kesalahan sama sekali pada angka-angka yang Nevda ukir. "kalau sakit ke UKS, Ercio antar Nevda ke UKS"

"engga bu, saya gak papa" Nevda kembali duduk. Regi, teman sebangku nya memperhatikan gerak gerik Nevda.

"ayo ke UKS, lo sakit banget ya?" Nevda menoleh ke arah Regi, lalu menggeleng dan berusaha terlihat biasa saja.

"gausah, bentar lagi juga pulang, tanggung" ringisan Nevda di akhir kalimat menjadi keyakinan pasti bagi Regi bahwa Nevda sedang tidak baik-baik saja. Namun Regi tidak ingin memaksa.

"yaudah."

❇❈❇❈

Ketika kaki Nevda dan Theora baru saja menginjakkan kaki di rumah, Nevda sudah disambut oleh guru privat nya.

Ia tak lupa bahwa ayah nya memanggil guru privat kemari karena nilai fisika nya kemarin menurun, Nevda tak keberatan untuk belajar namun saat ini tubuh nya sangat sakit.

"kamu ganti baju dulu aja, makan dulu, habis itu kita mulai belajar" Lentera namanya, ia adalah guru les Nevda. Umur mereka yang tak begitu jauh membuat Lentera lebih mudah mengakrabkan diri kepada Nevda.

"langsung aja, deh, Kak." Nevda membenarkan letak masker nya, "kemarin ada ulangan harian fisika, mungkin sekitar 4 soal gak bisa Nevda jawab, engga, bukan gak bisa, tapi gak sempet."

Lentera mengangguk, ia mendengar cerita itu dari Theora. Kemarin saat ulangan fisika berlangsung, saat Nevda sedang fokus mengerjakan 4 soal terakhir, seseorang datang dan berkata bahwa Theora kambuh.

Saat itu yang Nevda pikirkan hanya keselamatan sang kakak, ia meninggalkan lembar ujian nya begitu saja kemudian bergegas membawa sang kakak ke rumah sakit setelah memberi kabar kepada bunda dan ayah nya.

Jika saat itu Theora tidak kambuh, mungkin saat ini nilai Nevda tidak akan menurun.

"kak, kok Nevda gak di suruh ganti baju dulu? lo belum makan juga dek." Nevda dan Lentera menoleh dan memperhatikan bagaimana Theora berjalan mendekati mereka.

"udah gua suruh, tapi Nevda gak mau" jawab Lentera. "lepas sih masker lo, gak sesak pake masker mulu?" tanya Theora yang tidak dijawab oleh Nevda.

Theora berdecak melihat Nevda yang sibuk dengan buku-buku di tangan nya, manik mata Theora mengedar lalu melihat sang bunda yang hendak menaiki tangga.

"bunda!" panggil Theora. Mova lantas menoleh dan tersenyum hangat kepada anak nya, "kenapa sayang? kamu kok ga istirahat?" tanya Mova.

"bunda lihat adek, dia baru pulang langsung belajar. Belum ganti baju, belum makan." Nevda menelan saliva nya sekedar membasahi tenggorokan nya yang kering, ia menunggu respon bunda.

"nilai dia kemarin menurun, mas. dia memang harus belajar biar hasil ujian nya memuaskan. kamu jangan ganggu Nevda belajar, sini sama bunda aja." Nevda tersenyum tipis dan melanjutkan kegiatan nya tanpa berniat mempedulikan obrolan singkat mereka.

Ia dituntut untuk serba bisa. Nilai ujian nya harus sempurna, ia juga dituntut untuk bisa memasak, ia diminta untuk menjadi mandiri, dan yang paling sulit adalah ia harus bisa menghilangkan rasa sakit Theora.

Nevda tak berusaha untuk menjadi sempurna, ia hanya mengikuti segala perintah ayah dan bunda.

"gamau, aku mau nemenin adek." Nevda mengambil kertas dan mulai mengerjakan soal yang Lentera berikan, tak butuh waktu lama untuk memecahkan soal yang Lentera berikan.

"lo pinter banget sih." puji Theora, Lentera mengangguk setuju.

"gua ga tau mau ngajarin apa lagi ke lo, semua penjelasan yang gua kasih juga emng udah tertanam di otak lo kayak nya. semua materi fisika kelas 10 udah lo kuasai, lho, kita mau belajar materi kelas 11?" tanya Lentera. Pasal nya ia bingung, Nevda itu anak yang pintar, hanya perlu satu kali menjelaskan dan Nevda akan dengan mudah menjawab soal-soal yang Lentera beri.

Terkadang Lentera merasa tidak ada guna nya mengajari Nevda, karena Nevda sudah menguasai semua nya. Lentera juga sudah berbicara kepada Andrian bahwa Nevda sudah menguasai semua materi nya namun Andrian kekeh untuk membawa Lentera kemari.

"yaudah, boleh." jawab Nevda walaupun tubuh nya sangat meminta untuk di istirahatkan.

"tuh 'kan, lo itu udah pinter. Udah ganti baju aja dulu, terus makan. jangan-sshh" Theora membungkuk menahan sakit yang tiba-tiba kembali datang.

"mas?!" Nevda mendekat, "mas, kambuh? lo minum obat ga sih? BUNDA, OMA" Nevda berteriak memanggil Mova dan Hira.

"sa-kit" Nevda melihat Mova dan Hira yang berlari dengan wajah panik.

"mas, kamu kenapa? mana yang sakit? Nevda cepet siapin mobil! mas, tahan ya? kita ke rumah sakit, tahan sebentar bunda mohon" tangan Nevda gemetar, ia tak pernah terbiasa berada di situasi ini, apalagi dengan tubuh yang jauh dari kata baik.

PLAK

"CEPAT SIAPKAN MOBIL, BODOH!"

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang