Nevda membiarkan salah satu suster yang sudah ia kenal cukup lama untuk mengambil darahnya, saat ini ia sedang melakukan prosedur donor darah.
Dokter berkata bahwa Theora membutuhkan darah saat ini juga, golongan darah yang langka nyata nya tak membuat keluarga Theora merasa cemas. Nevda memiliki golongan darah yang sama dengan Theora maka dengan sukarela Nevda memberikan darah nya untuk Theora.
"kondisi kamu gak memungkinkan, dek" Sintia, menatap Nevda lekat. Padahal seharusnya Nevda tidak pernah mendonorkan darahnya, ia masih belum cukup umur.
"aman, sus. Tenang aja." masih dengan mata yang terpejam, Nevda meringis pelan. Punggung nya terasa sangat sakit.
Lentera menjadi saksi bagaimana Nevda merasakan kesakitan disetiap tarikan napas nya.
"belum selesai sus?" tanya Lentera cemas karena Nevda terus saja meringis, Lentera pikir Nevda kesakitan karena donor darah, padahal kenyataan nya Nevda merasakan sakit dibagian lain selain tangan nya.
"udah kok" Lentera mengangguk dan membiarkan suster memberi plester pada luka bekas pengambilan darah.
"duduk dulu sebentar ya jangan langsung pulang, seperti biasa kalau ngerasa pusing atau mual itu memang efek samping, tapi kalau gejala nya gak hilang setelah beberapa hari kamu harus datang ke sini ya" Nevda tak merespon.
"minum air putih yang banyak, makan makanan yang sehat. kalau gitu saya permisi" suster Diah meninggalkan ruang yang tersisa Nevda dan Lentera saja.
Dahi Lentera berkerut, memperhatikan tangan Nevda yang memegang dada sambil meringis kesakitan. "dek? lo kenapa sih?" tanya Lentera gusar.
Lentera menyentuh dada Nevda lembut, namun reaksi Nevda lebih dari seharusnya. "lo kenapa, Nevda?" tanya Lentera sekali lagi.
Nevda membuka mata dan satu air mata menetes begitu saja, Ia bangkit dibantu oleh Lentera.
"kak, makasih ya udah nemenin donor darah." lirih Nevda, Lentera mengangguk dan mengelus punggung Nevda "a-ah" reflek Lentera menjauhkan tangan nya karena melihat Nevda kesakitan.
"lo kenapa?" tanya Lentera kesekian kali, Nevda tak menjawab lebih memilih memejamkan mata menikmati rasa sakit yang menyiksanya.
Lentera menatap dalam, lalu dengan sengaja menyentuh punggung Nevda. "k-kak" Lentera menyibak baju yang Nevda kenakan, kemudian tubuh nya menegang.
garis-garis berwarna biru yang tampak menyeramkan di mata Lentera terlihat sangat jelas di punggung Nevda, "Nevda?" Lentera menatap wajah kesakitan Nevda, lalu mata nya menangkap tangan Nevda yang memegangi dada.
Lentera membuka baju yang Nevda kenakan hingga sebatas dada, memar kebiruan di dada Nevda mampu membuat Lentera hampir kehilangan akal sehat.
"dari mana lo dapat semua memar ini?" tanya Lentera lalu melepas masker yang Nevda kenakan. "Nevda ini keterlaluan" ujar Lentera ketika melihat sudut bibir Nevda yang mengeluarkan darah.
"gua telepon bokap lo" Lentera mengeluarkan ponsel ketika Nevda diam membisu.
"ja-sshh kak..." Nevda tak mampu berucap, Lentera paham keinginan Nevda untuk tidak memberi tahu masalah ini ke keluarga Nevda.
"siapa yang ngelakuin ini ke lo? jawab atau gue bilang ke ayah lo Nevda" ancam Lentera serius.
"tunggu, gua panggil dokter. Lo harus diperiksa" Nevda menggeleng, "jangan kak"
"gua dipalak preman"
❇❈❇❈
Suara detik jarum jam menjadi satu-satu nya suara di ruang rawat Theora. Nevda diam memperhatikan bagaimana selang infus yang berwarna bening kini terlihat berwarna merah karena darahnya mengalir disana.
Hingga saat ini Nevda masih setia menggunakan seragam sekolahnya, padahal langit sudah berubah menjadi gelap, derap langkah kaki yang tegas mampu mengalihkan atensi Nevda.
"kamu pulang, ganti baju terus belajar." Nevda berdiri, mengambil ponsel nya di atas nakas lalu berpamitan kepada sang ayah.
"tunggu... adek jangan lupa makan" Nevda tersenyum dan mengangguk agar Theora tak banyak bicara.
Di saat sedang dalam keadaan tidak baik Theora masih sempat memikirkan nya, "iya, mas."
setelah menyalimi sang ayah, Nevda meninggalkan ruang rawat. Untuk kesekian kali Nevda memejamkan mata karena tubuh nya yang terasa sangat sakit, pukulan Reno dan Byaz tidak main-main.
Ojek Online yang Nevda pesan telah berada di depan nya, Nevda naik dan membiarkan pria paruh baya mengendarai mobil dengan hati-hati.
Malam ini jalan terasa lumayan padat, banyak kendaraan roda dua dan empat yang saling menyeruakan rasa kesal dengan mengklakson kendaraan mereka.
Butuh sekitar tiga puluh delapan menit untuk sampai di pekarangan rumah nya, udara dingin mampu membuat Nevda kesulitan bernapas.
Nevda turun dari mobil dan memasuki rumah nya, menaiki tangga lalu meraih knop pintu kemudian menenggelamkan tubuhnya di balik pintu tersebut.
Tangan nya menjauhkan masker dari wajah nya, kemudian membuka seragam sekolah yang masih melekat di tubuh nya.
Nevda memperhatikan memar yang begitu jelas pada dada nya, mungkin hari ini ia tidak akan tidur, jelas ia lebih memilih belajar hingga matahari terbit dari pada harus merasakan sakit di area punggung nya ketika bersentuhan dengan ranjang kesayangan nya.
Ponsel yang Nevda genggam terasa bergetar, kemudian tanpa basa basi Nevda langsung membuka ponselnya untuk melihat siapa yang mengirimi nya pesan.
kak dellana
|Nevda
|kamu lagi sibuk ga?
|temenin aku yuk
|aku mau nyari alat lukisboleh-boleh|
nanti aku jemput ya||okee
Nevda tersenyum senang, lalu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Keyakinan Nevda tak akan pernah salah, Nevda tidak peduli sebanyak apapun rasa sakit yang tuhan berikan sebagai bentuk ujian, ia yakin setelah rasa sakit akan ada kebahagiaan yang selalu menyertai, dan saat ini keyakinan nya membuahkan hasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.