35

2K 124 2
                                    

Naka menceritakan semua yang dia ketahui kepada Wisnu. Entah mengapa Wisnu merasa sangat khawatir dengan kesehatan mental Nevda saat ini.

"Kakak pikir tahun ini kakak bisa lihat semua baik-baik aja." Wisnu bersandar penuh pada sofa. Netranya menatap Nevda lekat.

"Tahun ini buruk buat Nevda, kak." Wisnu mengangguk menanggapi ucapan adiknya.

"Kakak bawa dia ikut kakak deh." Naka menggeleng cepat.

"Aku ajak tinggal dirumah kita aja dia gamau, apalagi ikut kakak ke luar negeri. Mustahil."

Tubuh Nevda menggeliat, perlahan kelopak matanya terbuka. matanya melirik jam, masih pukul 1 dini hari. Lalu matanya menyusur, menemukan Wisnu dan Naka yang sedang duduk di sofa sambil menatapnya.

"Lanjut tidur, mas temenin."

Nevda menggeleng dan duduk di ranjang. Hari ini adalah hari terakhirnya melihat dunia, jadi apa yang harus ia lakukan disisa-sisa waktunya?

"Kamu mimpi buruk?" Wisnu mendekat begitu pula Naka.

"Kalian ga tidur?" Nevda membiarkan pipi nya diusap oleh Wisnu.

"Belum, mungkin sebentar lagi." Nevda mengangguk mengerti, membiarkan Wisnu memperhatikan luka-luka yang ada ditubuhnya.

"Kalau mas ajak kamu ikut tinggal sama mas, gimana?" tanya Wisnu penuh harap.

"Apa tujuan mas bawa aku pergi?"

"Karena mas udah gak tahan ngeliat kamu disiksa terus disini, mas tau kamu ga bahagia disini, jujur Nev? iyakan?"

Nevda mengangguk, "tapi lebih ga bahagia lagi kalau aku jauh dari keluargaku mas. Kosong, hidup pasti menyiksaku lebih dari ini."

"Tapi disini kamu disakitin, Nev."

"Aku percaya mereka sayang sama aku, mas. Aku yakin mereka akan berubah. Jangan khawatirin aku ya mas. Aku baik-baik aja."

"Mas mau lihat kamu bahagia, Nev."

"Aku bahagia selama ini, mas selalu liat senyumku kan? apa selama ini mas pernah liat aku nangis? engga kan mas? aku bahagia, jangan khawatir."

"Lo cuma pura-pura bahagia." Nevda menoleh ketika Naka tiba-tiba ikut berbicara, senyum Nevda terukir begitu lembut.

"Gua mau ambil minum." Nevda bangkit dan pergi dari kamar itu, ia hanya tak ingin meneruskan topik pembicaraan yang itu-itu saja.

Ia tak ingin banyak bersedih, karena hari ini adalah hari terakhirnya bernyawa, setidaknya ia harus membuat hari ini berkesan bagi dirinya sendiri, entah bagaimana caranya.

kakinya melangkah, menelusuri setiap sudut rumah yang malam ini terasa begitu tenang, ketika melewati ruang keluarga, ia mendengar sesuatu.

"Terserah ayah mau bawa dia kemana pun tapi intinya Theo udah gak mau tinggal sama Nevda lagi. Udah cukup selama ini keluarga kita selalu punya masalah karena ada dia, Theo cuma pengen hidup tenang."

"Gak bisa gitu, kamu kenapa jadi benci sama adik kamu sendiri? bukannya kamu sayang banget sama dia?"

"Aku muak yah, aku capek sama semua drama dia. Pokoknya besok ayah harus udah bawa dia pergi dari sini, bawa dia keluar negeri atau keluar kota lah, aku gak mau serumah lagi sama dia."

"Aku habis ribut sama kak nunu dan Naka karena Nevda, yah. Capek banget aku, ga selesai-selesai masalah dirumah ini kalau Nevda masih disini, bawa aja dia pergi kemanapun asal aku ga liat dia lagi."

"Kamu yakin?"

"Bener-bener yakin."

"Yaudah, besok pagi kamu ga akan liat dia lagi, ayah bakal bawa dia pergi yang jauh. Sudah sana kamu tidur, siang nanti kita harus ke rumah sakit."

Nevda bersembunyi ketika Theora bangkit dan meninggalkan ruang keluarga, beberapa saat kemudian Nevda keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan santai seperti tak mendengar apapun sebelumnya.

"Nev!" Nevda menoleh ketika Andrian memanggilnya, tentu ia mendekat dan bertanya kenapa ia dipanggil.

"nanti pagi ikut ayah kekantor ya? siang nya kita ke rumah sakit bareng."

Senyum Nevda kembali terulas, "Oke, yah." Setelah itu Nevda buru-buru menjauh, namun ayahnya malah kembali memanggil.

"Kamu mau apa sebagai ganti nyawamu? uang? berapa saya harus membayar?" Nevda tertawa sumbang menganggap pertanyaan ayahnya sebagai lelucon.

"aku ga bawa uang waktu meninggal yah." helaan napas Nevda terdengar. "ngeliat kalian bahagia aja udah terbayar, kok."

"Tapi saya gak mau kamu berkorban cuma-cuma, saya harus membayar." Senyum Nevda kembali terulas.

"Kalau ayah memang meminta seperti itu, baiklah. Sebagai ganti atas nyawaku, biarkan aku berada dirumah ini sampai siang hari." Andrian membeku ditempat, hanya tak menyangka bahwa yang anaknya butuhkan hanya waktu untuk tinggal dirumah ini walaupun terus disakiti.

"Maaf, aku ga sengaja denger percakapan mas Theo sama ayah."

"Maafin ayah ga bisa jadi ayah yang baik buat kamu." Andrian menunduk, perasaan bersalah terkadang hadir, menghimpitnya hingga ia kesulitan bernapas, lalu suara Nevda selalu menjadi obat, membuatnya kembali bernapas walaupun merasa sesak.

"Ayah udah jadi ayah yang baik buat aku kok, aku bersyukur bisa jadi anak ayah. Makasih karena udah ngerawat aku sampai sebesar ini ya yah, aku ga akan pernah bisa balas budi untuk itu."

"Ayah tau ayah gagal, Nev."

"No. Kalau ayah gagal ga mungkin aku bisa hidup sampai sebesar ini, kalau ayah gagal ga mungkin juga kebutuhanku selama ini terpenuhi, ayah berhasil."

Nevda kembali berucap ketika Andrian bungkam. "Aku berubah pikiran, aku gamau ada yang tau kalau mas Theo dapet donor dariku, yah. Ayah bisa beralasan apapun sesuka hati ayah, tapi jangan sampai ada yang tahu kalau aku yang jadi pendonor mas Theo."

"Kenapa?"

"Aku rasa lebih baik dirahasiakan, lagi pula mas Theo sekarang benci sama aku, aku takut mas Theo gak mau nerima pemberian dariku, aku takut terjadi masalah kalau mas tau dapet donor dari aku."

Andrian mengangguk mengerti, ia akan mencoba mengabulkan semua keinginan terakhir Nevda, sebisanya.

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang