Jika terus memikirkan tentang perubahan sikap Theora, maka yang Nevda dapatkan tidak lebih dari rasa sakit saja. Ia mencoba untuk terbiasa, bertahan sebentar lalu mengucapkan salam perpisahan jika sudah waktunya.
Kebetulan saat ini Nevda tengah berada di ruang kerja Andrian, Pria yang sangat ia hormati segala tindakan dan keputusannya. Sedikit berat namun lumayan melegakan, nyatanya tanggal pendonoran sudah ditetapkan. Jelas hal tersebut membuahkan kemenangan bagi sebagian anggota keluarganya, atau bahkan seluruh anggota keluarganya? entahlah.
Tatap penuh harap yang Andrian layangkan nyatanya begitu menyakitkan bagi Nevda. Lekaki yang membuatnya berada didunia ini, kini berharap penuh kepadanya.
"Ayah takut kehilangan kamu." Jemari Andrian memegang bahu Nevda dan meremasnya pelan.
"Gak papa, nanti ayah sering-sering dateng kerumah baruku ya." Senyum manisnya masih tersisa, binar redupnya tertutup rapat dan tidak dibiarkan terlihat orang lain.
"Ayah tanya sekali lagi, apa kamu yakin ngelakuin ini?" Nevda memberi anggukan, wajahnya begitu polos dan menenangkan namun Andrian tak merasa bersalah atas semua yang telah direncanakan.
"Sesuai perjanjian, jangan kasih tau siapapun dulu ya yah, sekalipun bunda." Nevda bangkit dan pamit untuk kembali kedalam kamarnya, Naka menunggunya.
"Tunggu, apa kamu dan Theo bertengkar?" Tanya Andrian.
"Sama sekali engga."
"Ayah mendengar cerita dari bunda dan opa kamu. Apa Theo memperlakukanmu dengan buruk? nanti ayah akan memintanya untuk berhenti bersikap buruk terhadapmu."
"Nevda rasa ga perlu yah, biar aja mas begitu. Nevda ga ada masalah sama perubahan mas."
"Setidaknya ayah mau kamu menghabiskan sisa waktu kamu dengan baik tanpa sikap buruk anggota keluarga kita. Ayah akan mencoba melakukan yang terbaik untuk kenyamananmu."
Nevda tak lagi ingin bicara, hanya mengangguk dan keluar dari ruang kerja sang ayah. Hatinya sedikit sakit menyadari bahwa ayahnya ingin melakukan sesuatu untuknya hanya karena ia akan berkorban nyawa untuk kakaknya.
Ia menuruni tangga satu persatu, berjalan dengan lambat hingga berada di tangga terakhir. Ia menghela napas ketika melihat Hira yang berjalan ke arah tangga.
Nevda mencoba bersikap biasa, tersenyum ketika mata mereka bertemu. Sayang sekali yang menyambutnya hanya bisikan mengerikan yang membuatnya semakin memantapkan keputusannya.
"waktu terus berjalan, waktumu hanya tersisa sedikit sebelum kesabaran saya habis dan tangan saya yang akan membawamu ke tempat yang lebih layak kau huni."
Nevda membiarkan Hira berlalu begitu saja dari hadapannya, Nevda juga kembali berjalan menuju kamarnya. Sampai akhirnya pijaknya tepat berada beberapa langkah dari kamarnya. Ia berdiri tepat di depan pintu kamar Theora.
"Ya tapi lo ga harus minta Nevda nyium kaki oma kan? kok lo makin kurang ajar aja gue liat-liat?"
"Ga usah ikut campur Ka, mending lo pulang aja sana."
"Oh lo ngusir gue? oke gue pergi, sama Nevda."
"Lo siapa mau bawa Nevda pergi dari rumah ini?"
"Gua penyelamat Nevda, gua yang akan bawa Nevda pergi dari keluarga gila ini. Dasar keluarga gak waras."
"Lo ga usah seenaknya!" Nevda terkejut ketika Theora meninggikan suara, dengan tergesa Nevda memasuki kamar tersebut. Naka terkejut karena kedatangannya.
Nevda menyentuh pundak Theora, pemuda tersebut seperti sedang menahan sesuatu, wajah pucatnya juga selalu membuat hati Nevda berdesir setiap kali melihatnya.
"Kalian kenapa?" tanya Nevda pura-pura tidak mendengar apapun.
"Mas lo sakit ya? kambuh?" Theora menggeleng namun Nevda terlanjur paham segalanya tentang Theora.
"Kalo sakit itu ngomong." Nevda membawa Theora untuk duduk, lalu memberinya minum. Sebelum keadaannya semakin memburuk maka Nevda harus memutar otak agar kedua manusia di hadapannya dapat tenang.
"Mau ke rumah sakit aja?" Itu suara Naka yang bertanya akibat cemas yang melanda. Naka juga baru sadar ternyata wajah Theora begitu pucat.
"Gua gak papa, ga usah lebay!" Ucap Theora karena merasa masih baik-baik saja, mereka tidak perlu membawanya ke rumah sakit.
Obat yang Nevda sodorkan diterima tanpa bantahan oleh Theora. "Lo bebas ngelakuin apapun. Lo boleh marahin gua, lo boleh hukum gua. Tapi gua minta satu hal, kalo ngerasa ada yang ga beres sama tubuh lo tolong langsung bilang, gua gak suka lo sakit mas."
Theora sama sekali tak menatap Nevda. Bukankah Theora baru saja bertengkar dengan Naka karena Nevda? Theora tidak membutuhkan perhatian Nevda. Theora muak dengan semua masalah yang terjadi di keluarganya karena Nevda.
"Apa yang mas rasa? ada yang sakit?"
"Mas capek ya? istirahat gih."
"Mas kalau ada yang sakit bilang ya."
"Mas?"
"Mas, lo mau gua bikin-"
"Stop perhatian sama gua! gua muak sama lo!" Tidak meninggikan suara, namun sangat jelas terdengar bahwa kakaknya sangat emosi kepadanya.
"Lo apa-apaan sih?!" Naka menarik Nevda untuk berada di belakang tubuhnya karena Theora baru saja mendorong tubuh Nevda agar menjauh.
"Gua capek, Ka! keluarga ini selalu aja dapat masalah, keluarga ini gak pernah bisa tenang. Karena siapa? karena dia."
"Gua muak Ka."
"Gua cuma mau hidup dengan tenang di sisa-sisa waktu yang gua punya! gua cuma mau menghabiskan sisa waktu gua bareng orang-orang yang gua sayang, tanpa keributan."
"Dan dia, selalu jadi dalang keributan dirumah ini. Dia selalu cari masalah sama oma. Gua tau oma salah selama ini, tapi oma udah minta maaf kan? oma udah janji mau berubah, tapi dia gak mau nerima oma. Dia selalu cari cara untuk balas dendam ke oma."
"Jangan lo pikir karena selama ini gua nyoba ngebela lo, lo jadi bisa seenaknya. Mau se-rapi apapun rencana lo, bakal ketahuan Nev. Oma ceritain semuanya ke gua, tentang semua yang lo lakuin akhir-akhir ini. Lo nyakitin oma Nev... ga sepantasnya lo bersikap begini ke oma."
Naka sudah siap membela Nevda, namun lagi-lagi Nevda menahannya. Sudah, kurang lebihnya Nevda sudah paham alasan perubahan Theora. Tidak ada tanda tanya lagi mengenai perubahan kakaknya. Semua terasa begitu jelas setelah apa yang kakaknya ucapkan.
"Gua... gua gatau apa aja yang udah lo denger dari oma. Dan gua juga ga punya hak untuk melarang lo percaya sama ucapan oma."
"Gua memang merasa gua penyebab keributan di rumah ini. Untuk rasa ga nyaman yang mungkin mengganggu lo selama ini, gua minta maaf mas."
"Tapi tolong jangan lo sebut-sebut soal sisa waktu yang lo punya. Kita ga tau rencana tuhan. Jangan bicara seolah-olah lo ga punya banyak waktu mas, itu nyakitin hati gua."
"Kalau gitu gua minta tolong sama lo jangan buat keributan di rumah ini, Nev. Gua cuma mau hidup tenang."
Nevda mengangguk dengan seulas senyum yang tampak berbeda. "Gua berusaha."
"Kalau lo merasa kehadiran Nevda bikin hidup lo ga tenang. Kalau gitu kenapa lo ga ngebiarin Nevda tinggal di rumah gua?" Naka menggenggam tangan Nevda.
"Gua ga mau Nevda nyusahin om sama tante."
Nevda melepas genggaman Naka, kemudian mendengar Naka menyangkal pernyataan Theora. Nevda menunduk dalam.
Tidak, ia tidak apa-apa.
Hanya saja, ia menyusahkan ya?
Ah benar. Ia juga menyadari satu fakta tersebut.
Nevda, menyusahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.