11

2.6K 188 17
                                    

Badai yang kemarin datang kini sudah menghilang menyisakan hati tiap-tiap anggota keluarga yang mulai tenang, setelah kemarin Nevda meminta sang kakak untuk meminta maaf, perasaan nya kini menjadi sedikit lebih baik.

Kini Nevda sedang sibuk membaca buku pelajaran, libur sekolah bukan berarti tidak belajar, Andrian selalu meminta nilai sempurna pada setiap lembar-lembar soal yang Nevda kerjakan, maka untuk itu Nevda harus merelakan banyak waktunya untuk mencapai angka tersebut.

Terdapat satu materi yang tak mampu Nevda pahami, dan saat ini ia tengah menekan pikirannya untuk bisa mengerti dengan terus membaca dan mengerjakan soal dengan hati-hati.

Fokus Nevda buyar ketika mendengar pintu terbuka, Nevda berdiri ketika melihat Hira memasuki kamarnya, tangan yang mulai keriput karena memasuki usia tua kini bergerak menutup pintu dengan perlahan.

Nevda menunduk, ia tahu selanjutnya akan ada tamparan namun yang paling menyakitkan adalah kalimat yang keluar dari bibir Hira.

"kenapa menunduk? kamu tidak ingin melihat wajah oma mu?" Nevda mengangkat kepala, apakah ia sedang bermimpi? kenapa oma nya tidak meninggikan suara?

"apa kamu sudah makan?" tanya Hira dengan senyuman, Nevda di minta duduk, lalu sang nenek mengelus pipi nya yang kemarin sempat mendapat tamparan.

"o-oma" mata Nevda berkaca-kaca. Ini bukan mimpi, Hira benar-benar berubah, tangan yang biasa menamparnya kini mengelus dengan lembut.

"oma sayang kamu, maafin oma karena selalu marah-marah sama kamu, kamu mau maafin oma kan?" deg, jantung Nevda seperti berhenti sedetik.

"o-oma, jangan minta maaf, oma ga salah... aku yang harusnya minta maaf sama oma." lirih Nevda, ia tak menyangka saat-saat seperti ini benar-benar terjadi, Hira yang selama ini membencinya, hari ini berkata bahwa Hira menyayangi Nevda.

Kebahagiaannya satu persatu datang, dan ia akan menjadi orang yang paling bahagia. Ia membiarkan Hira memeluknya, tak mempedulikan punggung nya yang terasa sakit karena Hira mengelusnya.

Jika ada yang berkata tak ada yang abadi dalam kesedihan, maka Nevda harus siap menerima kenyataan bahwa tidak akan ada yang abadi pula dalam kebahagiaan. Nevda terkejut mendengar tawa mengerikan Hira.

"Itu kan yang kamu mau?! udah seneng? iya? kamu sengaja menghasut cucu saya supaya melawan saya dan memaksa saya memperlakukan kamu dengan baik? dasar anak licik." rambut Nevda ditarik hingga beberapa helai tercabut.

"kamu berharap apa dari saya hm? kamu pikir saya sudi memperlakukan anak tak berguna seperti mu seperti tadi? kamu tidak layak untuk itu." Hira semakin kuat menarik rambut Nevda.

Tenang saja, Nevda sudah biasa berada di situasi seperti ini, dilukai secara fisik maupun batin, ia akan tetap kuat hingga kakak dan kedua orang tua nya berkata bahwa ia sudah tak dibutuhkan.

Sejak 3 tahun yang lalu, hidup nya semakin sulit ketika Hira datang, dulu ia terbiasa di nomor dua kan karena Theora membutuhkan perhatian khusus, namun setelah Hira datang dan menetap disini Nevda menjadi sangat terbiasa mendapatkan rasa sakit.

Jika membahas perihal lelah, tentu saja Nevda lelah. Harus hidup diantara orang-orang yang dengan mudah melukai tubuh ataupun hatinya sangat menyesakan, namun beginilah kehidupannya.

Tak ada pilihan lain selain menerima semua rasa sakit ini, menikmati perlakuan kejam dunia dan isinya, membiarkan takdir menertawakannya dan menunggu ketenangan air perlahan menenggelamkannya.

"kamu tahu kenapa saya sangat membencimu?" tanya Hira dan menjauhkan tangan nya dari kepala Nevda, tak mempedulikan beberapa helai rambut Nevda yang berada di sela-sela jarinya.

"karena kehadiranmu adalah kesialan, setelah kau lahir didunia ini keluarga saya selalu tertimpa masalah, saya harus melihat banyak air mata Mova dan Andrian yang jatuh karena masalah selalu menyertai mereka. Sebelum kamu ada, hidup kami sangat bahagia. Nevda, sebenarnya kamu tidak seharusnya ada."

Tak seharusnya ada, ya? lalu kenapa bunda memutuskan untuk membawa nya melihat dunia? pikir Nevda.

"Seharusnya kamu sadar, bahwa kamu tidak diinginkan, tinggal seatap dengan kami bukan berarti kamu bagian dari keluarga ini."

"kenapa kamu diam? kamu sedang memikirkan cara mati mana yang harus kamu coba?" tanya Hira.

Hira menyodorkan satu pisau kecil kepada Nevda, "pegang ini, mungkin kamu bisa memutuskan nadimu menggunakan ini, saya beli khusus untuk kamu." ucap Hira dengan Tega.

"Atau ini? seperti nya meminum obat separuh dari isi botol ini akan membuat mu hilang" Hira memberikan botol yang berisikan obat.

Dan yang terakhir, Hira memberikan botol yang bertuliskan poison, "saya sengaja membeli semua ini agar kamu bisa memilih cara mati yang menurut mu cocok untuk kamu lakukan"

"tidak ada yang menginginkan kehadiran mu disini, Mova atau pun Andrian tidak benar-benar menyayangi mu, jadi lebih baik kamu tiada, karena semua orang membencimu."

"pergi yang jauh, sampai saya tidak bisa melihat mu lagi." Hira berdiri lalu melangkah keluar dari kamar Nevda, namun langkah Hira terhenti di ambang pintu karena ujaran Nevda.

"aku gak akan ngelakuin hal bodoh kaya gitu" ujar Nevda, lalu ikut berdiri dan menatap Hira dengan senyuman.

"dari pada harus mati dengan cara kayak gini" Nevda mengangkat botol dan pisau yang tadi Hira berikan, "lebih baik aku donorin ginjal ku untuk mas Theo, oma."

Hira tertawa.

"bagus jika kamu berfikir seperti itu, karena memang itu lah alasan Mova dan Andrian masih menampung mu disini, agar kamu bisa menjadi pendonor untuk cucu saya" Kini Hira yang tersenyum, berbanding balik dengan Nevda yang melunturkan senyumnya.

"kalau Theo tidak melarang Mova dan Andrian mendonorkan ginjalmu, mungkin saat ini kau sudah tiada."

"jadi bersenang-senanglah sampai Theo menyetujui untuk menerima ginjal mu nanti."

"dasar bocah menyedihkan."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang