Walaupun Nevda tidak sakit, namun sebagian besar dari kehidupannya ia jalankan di rumah sakit. Menatap orang yang keluar masuk UGD sudah sangat biasa bagi Nevda. Padahal kenyataannya Nevda sangat takut melihat banyak darah, namun seiring berjalannya waktu ia terpaksa terbiasa, karena kehidupannya tidak lebih dari menjaga orang sakit.
Saat ini Nevda tengah duduk, di ruangan yang orang-orang sebut sebagai ruang Hemodialisa. Tempat dimana sang kakak sedang berjuang agar dapat melihat dunia lebih lama.
Nevda memperhatikan selang-selang yang terdapat darah milik sang kakak yang kemudian masuk ke dalam mesin yang Nevda tidak begitu mengerti cara kerjanya.
"Padahal dulu waktu lo pertama kali nemenin gua HD, lo takut banget. Sampe nangis, inget ga?" Theora memecahkan keheningan
Nevda memperhatikan wajah pucat kakak nya tanpa mempedulikan pertanyaan yang terlontar, ia memperlihatkan senyum manisnya. "Mas, janji ya harus sembuh?" Nevda mengangkat jari kelingkingnya.
"Doain gua ya?" Nevda menurunkan tangannya ketika Theora tidak berniat melakukan pinky promise bersamanya.
Nevda mendekatkan kursi ke ranjang Theora, lalu menyentuh tangan kanan Theora. "Mas, gua mau nyembuhin lo" bisik Nevda.
"Mas, mau kan?" Theora membuang muka, mencari objek menarik yang bisa membebaskan nya dari topik yang Nevda bangun.
"Mas sebentar lagi gua keluar ya? gantian bunda yang jaga, kasihan nunggu diluar." ucap Nevda mengganti topik.
"suruh aja mereka pulang, gua udah bilang cuma mau ditemenin sama lo." jawab Theora lalu menghembuskan nafas.
Nevda mengangguk mengerti, kemudian bangkit dan keluar dari ruang tersebut untuk menemui Mova dan Hira.
"Bunda, oma." panggil Nevda ketika telah berada di hadapan Mova dan Hira. "bun, mas mau nya HD sama ku, kalian pulang aja istirahat, dari pada nunggu disini. Mas aman kok di dalem."
"Kamu bujuk dong biar bunda sama oma boleh masuk, bunda khawatir kalau begini, bunda mau nemenin mas kamu sampai selesai cuci darah." Lirih Mova dengan wajah kecewa, pasalnya Theora melarang Mova ataupun Hira masuk kedalam ruang Hemodialisa.
"Udah bun, tapi mas gamau." Nevda mengusap wajahnya frustasi, kemudian suara Hira terdengar. "halah pasti kamu menghasut cucu saya supaya tidak mengizinkan kami masuk kan? kamu sengaja ingin memisahkan Theo dari kami kan?" tuduh Hira.
"Sama sekali engga, oma" jawab Nevda halus, "yaudah, aku coba bujuk mas lagi, tapi kalau mas masih gamau kalian pulang aja ya? bunda sama oma pasti cape nunggu disini."
Nevda kembali masuk dan melihat Theora yang menatapnya lekat, kemudian kembali duduk dan menggenggam tangan kanan Theora membuat sang empu tersenyum tipis.
Nevda memejamkan mata masih dengan menggenggam tangan Theora, "pucet muka lo" celetuk Theora membuat mata Nevda kembali terbuka. Nevda menegakan tubuhnya, lalu menghela nafas.
"Mas, bunda sama oma sayang banget sama mas. Mereka masih setia nunggu didepan, mereka mau nemenin mas sampe selesai HD. Mereka nunggu mas ngizinin mereka masuk." bisik Nevda.
"suruh pul-"
Ponsel Nevda berdering, membuat Nevda bangkit dan menjauh kemudian mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
"Iya, saya anak nya. Ada apa ya mba?" Nevda sedikit melirik Theora dengan jantung yang berdegup kencang, perasaannya tak enak, ia takut ada hal buruk yang terjadi.
Dan benar saja, Tubuh Nevda menegang ketika mendengar penuturan wanita disebrang sana.
Andrian kecelakaan. Nevda harus mendengar hal menyakitkan lagi, takdir kembali memaksanya untuk merasakan kejamnya kenyataan.
"B-baik, terima kasih." Nevda kembali ke tempat ia duduk dengan wajah kaku, membiarkan Theora menatapnya penasaran.
"Kenapa dek? siapa yang telepon?" tanya Theora. Nevda menggeleng, tidak mungkin ia mengatakan bahwa ayah nya kecelakaan, itu akan membuat keadaan Theora semakin memburuk, maka Nevda mencoba untuk terlihat santai dan biasa saja.
"Gua ada keperluan, nanti kalau sempet gua kesini lagi, gua cabut ya mas." pamit Nevda. "sepenting itu dek? sampe lo mau ninggalin gua sendiri disini?" tanya Theora.
Nevda menggeleng, "ada oma, bunda, suster sama dokter. Lo ga sendiri mas, gua cabut dulu, next HD gua yang nemenin sampe selesai. Sorry." Nevda keluar dan menutup pintu dengan perlahan.
Ia mendekat ke Mova dan Hira lagi, "B-bunda sama oma masuk aja kedalem" Mova dan Hira tampak ceria, kemudian Hira beralan lebih dulu masuk ke dalam ruang Hemodialisa.
"Bunda..." lirih Nevda, Mova berhenti melangkah dan menatap Nevda. "ayah kecelakaan" bisik Nevda yang masih mampu di dengar Mova.
"Bunda mau masuk atau ikut aku ke ayah?" tanya Nevda kemudian melangkah menjauh tanpa peduli Mova akan ikut atau tidak.
❇❈❇❈
Bagi Nevda hidup itu jahat, ketika mata nya dipaksa melihat tubuh orang yang ia sayang terluka, ketika telinga nya dipaksa mendengar tangis pilu orang yang ia sayang, sangat menyesakkan sampai rasanya ia tidak bisa bernafas.
Masih di rumah sakit yang sama, namun di ruang yang berbeda, hari ini ia mendengar kabar bahwa ayah nya kecelakaan. Padahal seharusnya ia masih menemani Theora hemodialisis.
Telinga nya masih mendengar bagaimana Mova menangis terisak memperhatikan Andrian yang belum siuman. Padahal dokter berkata bahwa tidak ada luka serius, namun Mova masih sangat cemas.
"bun, udah jangan nangis lagi ya? ayah gapapa kok" ujar Nevda bermaksud menenangkan.
"bunda gabisa liat ayah kamu sakit dek, kenapa harus ayah kamu yang kecelakaan, kenapa harus disaat mas kamu lagi cuci darah malah terjadi hal kayak gini."
"kenapa keluarga kita selalu tertimpa kesialan" deg, Nevda diam seribu bahasa, ia adalah penyebab keluarga nya selalu tertimpa masalah, benar kata oma.
"Dek sembuhin ayah." masih dengan air mata yang meluruh, Mova menatap Nevda dan memegang pundak Nevda. Mata mereka bertemu, "dek, kamu sayang kan sama bunda?" tanya Mova.
Nevda mengangguk tanpa beban, "sembuhin ayah dek, gantiin posisinya sekarang, kenapa harus ayah kamu yang kecelakaan" jadi, maksud bunda lebih baik jika aku saja yang kecelakaan bun?
"Theo belum sembuh, sekarang ayah kalian malah ikut sakit, bunda harus gimana Nev" Nevda merasakan pundaknya diremas kuat oleh Mova.
"kalau bisa, aku mau banget gantiin posisi mas sama ayah, gimana cara nya bun? kasih tahu aku" pelan, sangat pelan namun Mova masih mampu menangkap apa yang Nevda katakan.
"maaf, bunda minta sesuatu yang ga mungkin bisa kamu lakuin" Mova menjauhkan tangannya dari pundak Nevda, lalu sedikit menjauh.
"bun kalau bisa aku juga mau gantiin posisi ayah, tapi aku gatau gimana caranya, karena semua udah takdir, aku gabisa mengubah apapun bunda"
"tapi bunda tenang aja, kalau soal mas Theo, aku janji akan donorin ginjal ku untuk mas Theo. Bunda bantu bujuk mas Theo supaya setuju aja."
"maaf ya bun, belum bisa berbuat banyak. Tapi aku usahain secepatnya akan menghilang- maksudku, secepatnya donorin ginjal untuk mas Theo."
Nevda tersenyum ketika Mova membisu, "jangan banyak pikiran, aku gamau bunda ikutan sakit."
"jangan sedih lagi ya, bunda."

KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.